Senin, 12 November 2007

Hikmah Lebaran

KH. Hamdan Rasyid, MA

Ketua MUI DKI

Saling Memaafkan dan Silaturahmi Menambah Rezeki dan Panjang Umur

Lebaran tentunya bukan hanya sekadar salam-salaman. Namun ada makna lain di balik ritual yang hampir setiap tahun dirayakan oleh seluruh umat Islam di dunia. Yang terpenting adalah apakah kita mampu mempertahankan kualitas ibadah kita meski tidak lagi di bulan Ramadhan?

Malam belum sempurna. Mentari akhir Ramadhan tengah menjelang. Langit dipenuhi gemuruh takbir yang bergema di seluruh pelosok tanah air. Saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Idul Fitri di depan mata, kaum muslimin bergembira. Idul Fitri adalah momentum yang paling ditunggu kaum muslim. Tak ada hari yang paling ditunggu setelah Ramadhan selain Idul Fitri. Di hari inilah umat Islam yang telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan mendapatkan ampunan dan janji Allah SWT, kembali kepada fitrah atau kesucian. Inilah hari penuh ampunan dan pengharapan.

Idul Fitri juga disebut sebagai “hari kemenangan”. Setelah satu bulan penuh berpuasa, menahan diri dari berbagai godaan syahwat dan perilaku keji, kaum muslim merayakan kemenangan itu. Hari di mana umat Islam memproklamasikan kemenangan atas segala perjuangannya menahan nafsu.

Hari yang istimewa bagi umat Islam ini bermakna kesucian atau kembali pada asal kejadian. Laksana sucinya seorang anak manusia yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Dalam ajaran Islam, anak manusia dilahirkan tidak membawa atribut apa pun, termasuk beban dosa asal. Kelahirannya diibaratkan secarik kertas putih yang bersih dan suci. Namun, dalam perjalanannya manusia tidak luput dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan jati diri manusia seperti pada saat dilahirkan ke bumi.

Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen tepat untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Pekerjaan memaafkan adalah pekerjaan gampang-gampang susah. Tidak semua orang mau berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika menganggap kesalahan itu terlalu besar sehingga kata maaf dianggap terlalu ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan itu.

Maka, memaafkan orang lain adalah suatu kualitas dan tingkatan moral tersendiri. Kalau kita memaafkan kesalahan orang lain berarti kita menutupi kesalahan orang itu dan rasa marah kita sendiri. Sebab, keduanya saling berkaitan dengan keikhlasan memberi maaf. Kini pertanyaannya, mampukah kita mengatakan "mohon maaf lahir dan batin" di suasana Lebaran ini?

Salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu memberi maaf dan meminta maaf, sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Imran ayat 135, “Orang-orang yang apabila berbuat keji atau berbuat dosa, mereka ingat kepada Allah dan meminta maaf atas dosa-dosanya, siapa lagi yang mengampuni dosa selain Allah. Dan dia tidak mengulangi lagi apa yang dikerjakannya padahal mereka mengetahuinya.”

Tradisi bermaaf-maafan seyogyanya dilakukan tidak hanya pada hari raya saja, tradisi ini seharusnya dilakukan ketika kita punya kesalahan terhadap orang lain, agar hubungan sosial kita tetap terjaga, karena kalau kita meminta maaf menunggu lebaran, belum tentu orang itu mau memaafkan karena sudah terlalu lama.

Selain bermaaf-maafan, di hari raya ini kita juga dianjurkan untuk melakukan silaturahmi, hari raya merupakan waktu yang tepat untuk melakukan itu, sebab pada hari raya biasanya semua anggota keluarga berkumpul setelah sekian lama tidak bertemu karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Silaturahmi sangat penting dilakukan, karena selain untuk merajut tali persaudaraan, berkah dari silaturahmi bisa untuk menambah rezeki sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaknya dia bersilaturahim, niscaya keluarga akan mencintainya, diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya, dan Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikan-Nya'' (HR ArRabii).

Dalam hadist yang lain juga disebutkan, “Barangsiapa yang merasa senang dengan nikmatnya yang bertambah dan lamanya hidup diperpanjang, maka biasakanlah bersilaturahmi” (HR Bukhari).

Memaknai Idul Fitri. Kenikmatan berhari raya hanya dapat dirasakan secara maksimal bagi mereka yang benar-benar menunaikan ibadah puasa secara penuh. Mereka akan menginsyafi, bahwa kenikmatan tersebut baru mampu diperoleh, setelah melalui perjuangan berat, dalam bentuk kosongnya perut, keringnya tenggorokan, lemas dan tak berdayanya tubuh yang sebelumnya begitu perkasa, ditambah dengan kelelahan mental melawan gejolak emosi.

Makna yang terkandung dari proses ini, memberikan kita pencerahan tentang hal bahwa setiap keberhasilan, setiap kesuksesan dan setiap kemenangan yang memiliki nilai, hanyalah yang diperoleh melalui perjuangan yang berat. Semakin berat dan keras perjuangan yang dilalui, maka akan semakin manis pula madu kemenangan yang bisa direguk.

Maka, puasa Ramadhan yang ditutup dengan hari raya Idul Fitri haruslah dimaknai sebagai pembelajaran atau latihan untuk bulan-bulan selanjutnya. Seharusnya setelah Idul Fitri kualitas ibadah kita lebih meningkat dari pada bulan Ramadhan, sebab bulan Ramadhan adalah warming up atau pemanasan saja. Tantangan dan godaan setelah bulan Ramadhan jauh lebih menantang. Jika bulan Ramadhan semua orang terlihat religius dengan ditandai ramainya orang bersedekah dan datang ke masjid, tapi setelah bulan Ramadhan, praktis semua ritual itu tidak telihat. Bisakah kita konsisten seperti pada bulan Ramadhan?

Oleh karena itu, perayaan Lebaran bukanlah suatu rutinitas tahunan semata. Lebaran punya makna lebih luas dari sekadar perayaan. Tergantung kemampuan kita untuk menemukan makna yang hakiki dibalik Lebaran. Selama kita tidak memiliki kemampuan untuk menangkap makna dan pesan perayaan hari raya Idul Fitri, selama itu pula proses untuk menuju insan syamil (manusia paripurna, red) akan terus mengalami kendala. Sebab tanpa kemampuan menemukan makna, segala tindakan kita hanyalah akan menjadi sesuatu yang teknis, ritual, dan administratif. Banyak orang yang shalat, mengaji, dan berpuasa tapi tak memahami maknanya. Semua dilakukan semata-mata hanya sebatas ritual, tanpa pemikiran, apalagi kesadaran. Kebiasaan membuat kita merasa tak nyaman kalau belum melakukannya. Kita baru merasa nyaman setelah shalat karena kewajiban kita sudah tertunaikan.

Puasa Syawal. Setelah mengerjakan puasa Ramadhan selama satu bulan, umat Islam disunahkan untuk menyambungnya pada bulan Syawal selama enam hari. Hal ini untuk melestarikan nilai-nilai dan amaliah-amaliah Ramadhan yang telah dibina selama sebulan penuh. Karena manfaat puasa pada bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.

Puasa Syawal berfungsi sebagai penyempurna dan pelengkap pahala puasa Ramadhan. Pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya. Sebagaimana hadist nabi SAW, “Barang siapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR Muslim) Dalam hadist lain juga disebutkan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun.” (HR. Al Bazzar).

Selain itu, puasa syawal juga sebagai bentuk rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia justru menggantinya dengan perbuatan maksiat, maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai lagi.” (QS. An-Nahl: 92) Doel

Tidak ada komentar: