Selasa, 18 Desember 2007

Zubaedah Kamal

Pengakuan Penderita Tumor, Zubaedah Kamal (54), yang Sembuh Setelah Mengalami Operasi Secara Ghaib

Memang cukup sulit untuk diterima akal sehat, namun begitulah kejadiannya. Zubaedah Kamal yang telah tiga tahun menderita tumor, mengaku sembuh setelah dirinya dioperasi secara ghaib. Bagaimana ceritanya?
Suasana panas kota Jakarta siang itu seakan hilang ketika memasuki sebuah rumah di Jalan Malaka IV No. 160 Rt 10/08 Kel. Malaka Sari Kec. Duren Sawit Perumnas Klender Jakarta Timur. Sebuah bangunan yang asri dengan ornamen bernuansa Arab menghadirkan suasana religius dan ketenangan tersendiri. Di sebuah ruang tamu yang cukup luas dengan hiasan kaligrafi Arab, terlihat seorang wanita paruh baya tengah duduk dengan serius. Di wajahnya terlihat ada sisa air wudhu yang menandakan bahwa dia baru saja selesai melaksanakan sholat Ashar.

“Mari mas silahkan masuk,” sambut wanita tersebut ketika melihat kedatangan Realita. Ditemani oleh sang suami, Kamal (60), wanita bernama Zubaidah (54) itu pun menceritakan peristiwa religius yang dialaminya pada bulan Ramadhan tahun lalu. Zubaedah yang sudah menderita tumor selama tiga tahun mengalami peristiwa aneh yaitu menjalani operasi tumor secara ghaib. “Peristiwa tersebut merupakan salah satu bentuk kekuasaan Tuhan yang tidak mungkin saya lupakan dalam sepanjang hidup saya,” ujar Zubaedah.

Pada awalnya, Zubaedah tidak pernah mengira kalau benjolan di belakang kepalanya akan tumbuh menjadi tumor. Semula Zubaedah mengira kalau benjolan di tengkuknya itu hanya merupakan daging lebih saja dan tidak berbahaya sama sekali. Sebab ketika benjolan tersebut diraba dan ditekan tidak terasa sakit sedikitpun. Oleh karena itulah Zubaedah tidak begitu memperhatikan benjolan tersebut dan hanya mendiamkannya saja. Akan tetapi setahun kemudian benjolan tersebut mulai bertambah besar. Meskipun begitu, Zubaedah tetap tidak merasakan sakit di daerah benjolan tersebut. Dan baru dua tahun kemudianlah Zubaedah merasakan ada sesuatu yang mengganggu pada benjolannya itu. “Kalau leher saya digerakkan atau kalau lagi menjalankan sholat sewaktu ruku maupun sujud, leher saya terasa sakit sekali,” tutur Zubaedah yang saat itu mengenakan baju jubah berwarna putih. Meskipun sudah mulai merasakan sakit di lehernya jika digunakan untuk beraktivitas, namun Zubaedah masih tetap menganggap kalau benjolan itu hanya penyakit biasa saja dan akan sembuh dengan sendirinya. “Jadi pikir saya saat itu ya tidak perlu dibawa ke dokter,” ujar Zubaedah.

Tapi, lama kelamaan setelah benjolan tersebut memasuki tahun ketiga, Zubaedah mulai merasakan kalau seluruh tubuhnya mengalami perubahan. “Suara saya jadi parau, badan terasa panas dingin dan saya mulai merasa tersiksa sekali dengan benjolan tersebut. Setiap malam saya merasakan susah sekali untuk tidur. Kalaupun bisa tidur, harus dimiringkan. Karena kalau benjolan itu menyentuh kasur, akan terasa ngilu sekali,” ucapnya mengenang. Karena dari hari ke hari benjolan tersebut semakin bertambah besar ukurannya hingga seperti telur ayam, akhirnya Zubaedah berkonsultasi dengan keluarga dan teman-temannya. “Suami dan anak-anak saya menyuruh saya segera memeriksakan diri ke dokter agar dapat diketahui apa penyakitnya,” aku wanita asal Palembang ini. Meskipun Zubaedah berprofesi sebagai orang yang memberikan pengobatan alternatif dan tidak sedikit orang yang telah berhasil disembuhkannya, namun Zubaedah mengaku kalau ramuan obat yang diraciknya tidak mampu menyembuhkan penyakitnya.

Akhirnya, pada tanggal 29 Agustus 2006, Zubaedah memeriksakan diri ke RSIJ Pondok Kopi Jakarta Timur untuk memastikan penyakit yang sedang dideritanya. Waktu itu dokter men-CT Scan kepala Zubaedah agar benjolan di tengkuknya tersebut dapat di ketahui apa penyebabnya. “Saya sangat kaget ketika dokter mengatakan kalau di dalam otak saya ada cairan. Padahal yang saya tahu hanya di tengkuk belakang saya saja yang ada penyakitnya,” ungkap ibu delapan anak ini. Karena ditakutkan akan terjadi kanker otak, maka dokter pun menyarankan agar segera dibawa ke RSUD Cipto Mangun Kusumo untuk diperiksa lebih lanjut. “Sebenarnya pada waktu itu saya menolak, tapi karena merasa tidak enak dengan saran dari dokter, saya pun menerima saja surat rekomendasinya,” terang Zubaedah sambil menunjukkan hasil CT Scan-nya. Akan tetapi surat rekomendasi dokter tersebut oleh Zubaedah tidak diteruskan ke RSUD Cipto Mangun Kusumo. Zubaedah memutuskan untuk mengobati lagi penyakitnya dengan caranya sendiri. “Waktu itu saya berfikir, masa mengobati orang lain sembuh, tapi mengobati diri sendiri tidak bisa,” ujar Zubaedah.

Obati dengan Sholat Malam. Dalam mengobati pasien, tidak hanya menggunakan obat ramuannya, Zubaedah juga sering melakukan sholat malam untuk meminta petunjuk kepada Allah. Begitu pula ketika ia menderita sakit dan tidak sembuh-sembuh, sejak diperiksa RSIJ Pondok Kopi Jakarta Timur, hari-harinya selalu diisi dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Setiap malam, Zubaedah selalu melakukan sholat tahajud minta petunjuk pada Allah agar diberikan jalan keluar atas penyakitnya. “Ya Allah, saya bisa membantu orang lain, tetapi untuk diri saya sendiri saya tidak bisa. Ya Allah, saya tidak bisa menolong kecuali atas kehendak-Mu. Hanya kepada-Mu saya menyerah dan meminta petunjuk atas penyakit saya. Tidak ada daya upaya kecuali Engkau ya Allah,” begitu doa yang selalu dipanjatkan Zubaedah dalam setiap sholat tahajudnya.

Hingga sampai pada suatu malam ketika Zubaedah sedang bermunajat mengadukan penyakitnya kepada Allah, ia seolah-olah melihat ada segumpal daging di otak manusia di atas sajadah. Zubaedah yang saat itu sedang dalam keadaan berdoa, antara percaya dan tidak percaya merasa bahwa apa yang ada di depannya itu merupakan petunjuk dari sang Maha Kuasa. Zubaedah pun segera menghentikan doanya dan kemudian membuka segumpal daging tersebut. Zubaedah pun terperangah ketika membuka gumpalan daging tersebut yang ternyata didalamnya ada beberapa lembar kertas yang bertuliskan Al-Malik (Raja). “Spontan saat itu keringat dingin mengucur deras dari tubuh saya. Keringat dingin membasahi mukena saya, tembok, dan ubin. Sambil bersandar di tembok musholah rumah, tak henti-hentinya saya menyebut Asma Allah,” ucap Zubaedah terbata-bata.

Akhirnya Zubaedah pun memutuskan untuk mengambil air wudhu kembali agar bisa menenangkan hati dan bersih menghadap Allah sang pencipta alam semesta. “Waktu itu ketika saya kembali merenungkan akan ke-esa-an Allah dan ke-mahakekuasa-an Allah atas apa yang telah saya alami dengan selalu memohon petunjuknya, tiba-tiba saja saya mendapat tuntunan suara,” jelas Zubaedah. “Baca wirid dan amalkan Al-Malik itu sebanyak tujuh puluh ribu kali, kemudian baca lagi doa Akasah 169 kali kemudian baca lagi Al-Muluk tiga kali, Arrohman tiga kali, surat Yasin pembuka tujuh kali dan Yasin penutup tujuh kali. Selesaikan dalam 17 hari Ramadhan,” ucap Zubaedah menirukan suara yang menuntunnya itu.

Menjelang bulan Ramadhan tahun 2005, tak lupa Zubaedah mempersiapkan segala kebutuhannya. Termasuk amalan yang telah diberikan oleh suara yang menuntunnya itu. Bulan Ramadhan bagi Zubaedah memang merupakan bulan yang sangat istimewa. Karena pada bulan itu segala amalan kebaikan akan ditingkatkan pahalanya, dan segala perbuatan dosa akan diampuni. Di bulan Ramadhan itu pula Zubaedah segera mengamalkan tuntunan suara yang diperolehnya. Tidak hanya itu, Zubaedah juga menambah dengan amalan-amalan yang lainnya. Selama kurang lebih 40 hari Zubaedah menjalani tuntunan suara itu sejak mendapatkannya sampai dengan 17 Ramadhan. Tanpa lelah dan bosan, Zubaedah membaca amalan tersebut sehabis sholat wajib dan sholat tahajud. Pada tanggal 16 Ramadhan ketika Zubaedah sedang sholat tahajud dan larut dalam dzikir, tiba-tiba saja suara itu datang lagi. “Sucikan, bersihkan kepala mu dengan air zam-zam dan bawa keluarga, kamu akan di operasi,” lanjut Zubaedah sambil merinding.

Dengan perasaan yang masih dilingkupi rasa takut dan was-was, Zubaedah pun menceritakan kejadian yang dialaminya itu kepada suaminya. Setelah berkonsultasi dengan suami, akhirnya Zubaedah memutuskan mungkin yang dimaksud dengan membawa keluarga dalam tuntunan suara itu adalah untuk membantu doa. Besok malamnya selain keluarga, Zubaedah juga memanggil beberapa ustadz untuk membantu doa dengan harapan tidak akan terjadi apa-apa saat proses operasi nanti.

Dioperasi Secara Ghaib. Malam itu, tepat pukul 01.30 Zubaedah sudah melakukan sholat di musholah pribadinya. Setelah itu Zubaedah berdzikir, sedangkan keluarganya melakukan sholat di samping musholah. Tepat pukul 02.10, insting operasi sudah mulai dirasakan oleh Zubaedah. Diakui Zubaedah, suara itu datang lagi. “Jangan lepaskan kalimat Allah,” ucap suara tersebut. Zubaedah pun terus membaca kalimat La Illa Ha Illa Allah. Waktu itu lampu dimatikan, tapi Zubaedah merasa disekelilingnya terang benderang dan seolah-olah ada lampu yang menyala. Selama kurang lebih 15 menit, Zubaedah merasakan kejadian itu. Zubaedah tidak tahu bahwa pada waktu itu ia sedang dioperasi secara ghaib. Pasalnya, saat itu Zubaedah tidak merasakan sakit ataupun merasakan sesuatu pada tubuhnya. Dengan mengenakan mukena, ia hanya duduk terdiam sambil melafazkan kalimat Allah.

Sedangkan keluarganya yang di luar, tidak henti-hentinya terus memanjatkan doa. Setelah operasi selesai, Zubaedah langsung sujud syukur. Dengan keadaan yang masih lemas, ia dibawa ke ruang tamu oleh suaminya. Kemudian satu per satu Zubaedah mulai membuka mukenanya. Setelah mukenanya dibuka, Zubaedah kaget bukan kepalang lantaran tumor yang bersemayam dalam tengkuknya yang berbentuk benjolan sebesar telur ayam, telah hilang sama sekali. “Saya merasa setelah itu kepala saya jadi ringan dan suara saya jadi tidak berat lagi,” urai Zubaedah menceritakan pengalaman ghaibnya itu. Doel

Sidebar I:

Ustadzah Zuhroh Carman (53)

Saksi Operasi Dan Pembantu Doa

Merinding Ketika Melihat Cahaya Di Musholah

Orang lain mungkin banyak yang menganggap bahwa operasi ghaib itu tidak masuk akal dan hanya untuk mencari popularitas saja. Tapi tidak demikian halnya dengan ustadjah Zuhroh Carman yang mengaku bahwa melihat peristiwa tersebut dengan mata kepalanya sendiri. “Orang lain mungkin menganggap peristiwa ini tidak masuk akal dan akan berkata hanya mencari popularitas saja. Tapi bagi saya yang menyaksikan hal tersebut dengan mata kepala saya sendiri, peristiwa ini adalah satu mukjizat dari Allah yang telah diberikan kepada hambanya yang terpilih,” tutur ustadjah Zuhroh. “Di mata saya, ibu Zubaedah adalah orang yang taat menjalankan ibadah dan beliau juga sering membantu anak yatim piatu,” tambahnya.

Ustadzah Zuhroh pun bercerita bahwa pada malam tersebut dirinya benar-benar menyaksikan kebesaran Allah. “Begitu mudahnya Allah menyembuhkan penyakit yang diderita oleh ibu Zubaedah. Malam itu saya sholat hajat lalu berdzikir membaca tahlil, tahmid, dan tasbih untuk kelancaran proses operasi. Saya merasa merinding waktu melihat cahaya terang di dalam musholah. Cahaya itu lebih terang dari pelita. Lalu cahaya itu berputar-putar di atas kepala ibu Zubaedah,” urai ustadzah Zuhroh. “Sambil terus membaca dzikir saya melihat cahaya itu seperti berubah menjadi sinar laser yang masuk ke tengkuk ibu Zubaedah. Dan beberapa menit kemudian cahaya itu hilang,” tambah ustadzah Zuhroh.

Ustadzah Zuhroh pun sangat bersyukur bisa menyaksikan kejadian itu secara langsung. “Saya merasa yakin akan kebesaran Allah. Setelah peristiwa itu, saya langsung sujud syukur sambil menangis merenungkan kejadian itu. Lalu saya memeluk ibu Zubaedah erat-erat sambil terus membaca tahlil,” tuturnya. Doel

Sidebar II:

Prof. Dr. Yunasril Ali. MA

Guru besar tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Terbukanya Tabir Manusia dengan Tuhan
Peristiwa yang dialami oleh Zubaedah, adalah suatu peristiwa di luar kebiasaan umum dan sulit dicerna oleh akal sehat. Karena bagaimana mungkin orang bisa di operasi secara ghaib padahal ia hidup dalam alam nyata. Tapi hal ini di mata Yunasril Ali, guru besar tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kasus yang dialami oleh Zubaedah adalah sesuatu yang wajar terjadi. Menurutnya, jika ada seseorang yang menderita suatu penyakit kemudian orang itu sangat dekat kepada Allah dan selalu melakukan ibadah baik pada waktu siang maupun malam hari serta mengadukan dan memohon kesembuhan penyakit yang dideritanya hanya kepada Allah, maka akan terbukalah hijab (pembatas) antara orang tersebut dengan Tuhannya. “Maka bisa saja Allah akan menyembuhkannya,” ujar Yunasril. Hal tersebut sebagaimana yang dituangkan dalam surat Al-kahfi ayat 110 yang artinya, “barang siapa yang ingin bertemu dengan Tuhannya maka hendaklah ia perbanyak amal sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.”

Dalam perspektif tasawuf di dalam dunia ini menurut Yunasril, semuanya serba mungkin jika memang Allah SWT sudah menghendakinya. “Kalau memang Allah ingin memperlihatkan kekuasaannya dan ingin memperlihatkan Maha Kasihnya, hal itu bisa saja terjadi. Dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan adalah melalui ibadah. Semakin dekat orang tersebut kepada Allah, semakin banyak orang tersebut mendapat kasih Allah,” papar Yunasril. “Boleh jadi apabila orang itu dekat kepada Allah maka ada istilah maqam dan khal. Kalau maqam itu upaya kita untuk mendekat kepada Tuhan, sedangkan khal itu adalah pemberian Allah kepada kita,” tambahnya.

Pada hakikatnya, segala macam penyakit itu adalah datangnya dari Allah. Kalau manusia itu sudah berusaha untuk berobat kemana-mana namun tidak kunjung sembuh, dan juga sudah berdoa namun juga tidak bisa, maka jika orang tersebut pasrah dengan penyakitnya dan yakin bahwa segala penyakit itu datangnya dari Allah, bisa saja orang tersebut mendapatkan Irhas.

Dalam sejarah Nabi Muhammad juga pernah mengalami kejadian seperti itu. Pernah sewaktu kecil saat Nabi Muhammad belum diangkat sebagai nabi, beliau dioperasi secara ghaib oleh malaikat Jibril untuk dibersihkan hatinya agar terhindar dari penyakit-penyakit hati yang sering menggrogoti manusia. Sehingga dalam pandangan tasawuf, seseorang bisa menerima bisikan-bisikan ghaib melalui “rijal al-ghaib” yaitu sosok yg dikirim oleh Allah untuk membisikkan kepada manusia tanpa melalui marhalah atau maqam-maqam yang biasa orang sufi lakukan untuk mencapai hakikat. Hal ini biasanya terjadi karena orang tersebut hanya menggantungkan segalanya kepada Tuhan dan hati atau jiwanya siap menerima anugerah dari Tuhan.

Dalam peristiwa tersebut kita dapat mengambil hikmah, pertama, bahwasanya jika Allah sudah berkehendak, tidak ada yang mustahil dalam dunia ini. Apa pun bisa terjadai. Kedua, doa jika dilakukan dengan sungguh-sunguh, ikhlas, pasrah, dan dilakukan secara terus menerus, maka bisa membuka hijab antara manusia dan Tuhan. Ketiga, bahwa orang yang mendapatkan penyembuhan dengan cara seperti itu menandakan orang tersebut mempunyai kedekatan dengan Tuhan atau kalau dalam istilah sufi orang itu telah mendapatkan kasaf. Keempat, bisa juga orang tersebut mendapatkan karomah karena ketekunannya beribadah kepada Allah. Doel

Jalinan Cinta Selama Dua Tahun itu Sirna Dibakar Api

Jalinan Cinta Selama Dua Tahun itu Sirna Dibakar Api

Siapa yang bisa mengukur dalamnya hati seseorang. Seorang kekasih sekalipun tak mampu mengetahui perasaan paling dalam pasangannya. Itu sebabnya, ketika Fitri akan membakar diri, tak seorang pun bisa mengetahui hal itu. Termasuk Hadi, kekasihnya. Kini, setelah Fitri Agustini (23), meninggal di RS Koja, Jakarta Utara, Selasa (31/10) lalu, karena membakar diri dimakamkan, orang tuanya belum percaya kalau anaknya nekad melakukan tindakan sekeji itu. Karena di mata mereka, Fitri adalah anak yang taat beragama, sehingga mustahil ia bisa melakukan tindakan yang dilarang agama tersebut. Atas dasar itulah, kerabat Fitri melaporkan kajadian ini ke Polsek Koja dengan tuduhan Fitri mati karena dibakar orang. Apa kata keluarga tentang Fitri? Bagaimana pengakuan Hadi, kekasih Fitri yang menjadi orang paling dekat ketika wanita itu membakar diri? Orang tua mana yang tidak sedih melihat anaknya meninggal dengan cara membakar tubuhnya sendiri. Siapa pun akan merasakan terpukul jika melihat anaknya yang diasuhnya sejak kecil harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Hal itu juga yang dialami Rosyidi (51). Ia sama sekali tidak menyangka kalau anaknya, Fitri Agustini (23) akan melakukan perbuatan senekat itu. Kini ia hanya bisa meratapi nasib setelah ditinggal anaknya.

Fitri Agustini adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan suami istri Rosyidi dan Herly. Di mata keluarga, Fitri termasuk anak yang berbakti kepada orang tuanya. Selain itu, ia juga selalu membantu keperluan sekolah adik-adiknya. Kematian Fitri membuat beban keluarga Rosyidi menjadi berat. Karena Fitri merupakan salah satu tulang punggung keluarga. Penghasilan Rosyidi tidak seberapa. Sebagai penjual kopi di pinggir jalan, ia hanya bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 10 ribu setiap hari. Untuk membantu membiayai keperluan sehari-hari, Fitri yang bekerja sebagai buruh pabrik, sudah sangat membantu ekonomi keluarga.

Sore itu, kondisi rumah Rosyidi di Jln. Manggar Blok Y, Gang I, RT 04/08 No. 101 B, Koja, Jakarta Utara terlihat masih ramai. Seluruh anggota keluarga dan beberapa tetanga berkumpul untuk mengadakan tahlilan. Padahal, orang tua Fitri baru pulang dari Polsek Koja, Jakarta Utara untuk mendengarkan keterangan Hadi, pacar Fitri tentang kematian anaknya. Kamis (03/11) merupakan hari ketiga keluarga Rosidi mengadakan tahlilan setelah meninggalnya Fitri. Di depan rumahnya, masih tampak tumpukan kursi sewaan untuk digunakan pelayat yang datang untuk mengucapkan rasa bela sungkawa.

Meski sudah tiga hari dimakamkan, hingga saat ini orang tua Fitri belum menerima kematian anaknya. “Tidak mungkin anak saya bakar diri. Fitri itu anak yang tahu tentang agama. Ia tahu bahwa bunuh diri itu dosa. Ia sering menjalankan shalat lima waktu dan mengaji. Jadi tidak mungkin ia tega bunuh diri dengan cara sesadis itu,” bantah Rosyidi yang juga menjabat sebagai ketua RT di lingkungannya ini. Selain itu, orang tua Fitri sangat menyesalkan sikap Fitri yang tidak mau terus terang kepada orang tuanya kalau ia sedang menghadapi masalah serius dengan kekasihnya. Padahal, Fitri sering menceritakan masalahanya kepada teman-temannya. “Mungkin dia takut dimarahi kalau orang tua tahu masalahnya,” keluh Rosyidi yang saat ditemui Realita memakai peci haji berwarna cokelat. Hingga saat ini masalah tersebut masih dalam penyidikan aparat Polsek Koja.

Segera Menikah. Menurut Rosyidi, kepergian Fitri terlalu cepat. Karena rencananya, Desember 2006 mendatang setelah Lebaran Haji, Fitri akan melangsungkan pernikahan dengan Hadi. Karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Sebenarnya pernikahan itu sudah direncanakan sejak lama. Namun Hadi selalu menunda-nunda. Setiap kali ditanya tentang rencana pernikahan, Hadi hanya memberikan jawaban tidak pasti. “Nggak tahu kenapa, ia selalu menunda. Bilangnya nggak punya duit karena habis sakit,” ungkap Anita (17) adik perempuan Fitri. Rencananya, setelah gajian November ini, Fitri akan mencetak undangan pernikahan mereka.

Semua anggota keluarga Rosyidi mengaku sama sekali tidak mengira kalau hari itu, Selasa (31/10) Fitri bakal menemui ajalnya. Karena ia tidak menunjukan tingkah laku aneh atau mencurigakan. “Malamnya Kak Fitri masih nonton Smac Down di Lativi bersama kami, kenang Andi (10) adik Fitri. Bahkan paginya pun Fitri masih melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, seolah-olah ia tidak merencanakan sesuatu. “Siangnya, Fitri masih mambantu ibu memasak makan siang kelaurga” tambah Andi.

Usai makan siang, Fitri berpamitan ke rumah pacarnya. Fitri memang sering main ke rumah pacarnya. Sampai separuh pakaiannya ia tinggalkan di rumah Hadi. Begitu pula juga dengan Hadi, ia sering main ke rumah Fitri. Rumah Hadi dan Fitri memang tidak jauh. Hadi tinggal bersama kelurgannya di Jln. Mantang Blok K Gg IV/14 RT 7/8 Lagoa Koja, Jakarta Utara.

Namun, satu jam setelah pamitan, Rasyidin dikejutkan dengan berita bahwa Fitri bakar diri di rumah Hadi. “Waktu itu, saya sedang duduk di depan rumah sambil ngobrol bersama teman. Ketika sampai di tempat kejadian, tubuh Fitri sangat mengerikan. Sekujur badannya nyaris hangus terbakar. Ia lalu dibawa ke Rumah Sakit Koja.

Peristiwa meninggalnya Fitri berawal dari surat kekecewaan Hadi atas sikap Fitri yang telah menduakannya. Dalam surat itu, Hadi mengatakan bahwa ia tetap akan menikahi Fitri. Tapi pernikahan itu bukan atas dasar cinta, tapi karena bertanggung jawabnya atas apa yang telah mereka lakukan. Ia juga mengatakan bahwa Fitri hanya bisa bersembunyi dari kesalahan di balik tangisan dan air mata. Surat yang menuding Fitri telah menduakan cinta Hadi itulah yang diduga membuat Fitri kecewa dan nekat mengakhiri hidup di depan kekasihnya. Padahal, Hadi dan Fitri sudah berpacaran selama kurang lebih dua tahun.

Setelah mendapat surat dari Hadi, keesokan harinya sekitar pukul 13.00 WIB, Fitri ke rumah pacarnya. Sampai di rumah, Hadi mencoba mengajak Fitri ngobrol, tapi Fitri diam saja. Akhirnya Hadi meninggalkan Fitri dan tidur. Namun beberapa saat kemudian Hadi terbangun dan mendapti pacarnya membakar diri. Ia mencoba menghentikan api yang membakar Fitri, namun ia gagal. Setelah itu, ia bersama warga membawa Fitri ke Rumah Sakit Koja untuk mendapat pertolongan.

Selama kurang lebih tiga hari Fitri dirawat di rumah sakit. Saat dalam masa perawatan, Fitri sempat siuman dan mengungkapkan keinginannya setelah sembuh. Ia ingin masuk pesantern dan tidak mau menikah dengan Hadi. Namun, karena luka bakarnya terlalu parah, Fitri menghembuskan napas terakhir pada Selasa (31/10) pukul 02.30 WIB. Ia kemudian dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Bumi Darma, Cilincing, Jakarta Utara. Doel

Side bar....1

Hadi Maryadi (kekasih Fitri)

“Saya akan tetap menikahi Fitri meski cacat”

Sebagi seorang kekasih, Hadi sempat shock berat setelah kekasihnya meninggal. Ketika ditanya tentang kronologis kejadian, tidak banyak keterangan yang ia berikan. Hadi hanya bisa menangis di pangkuan ibunya. Kalaupun menjawab, nadanya sangat pelan, sehingga nyaris tidak kedengaran. “Saya sangat terkejut dan shock ketika melihat Fitri terbakar,” kenang Hadi sehabis dimintai keterangan oleh aparat Polsek Koja. “Fitri memang membakar diri di kamar saya, tapi waktu itu saya lagi tidur,” ungkap Hadi sambil merangkul ibunya.

Hadi mengaku sempat mencoba menolong Fitri dengan berusaha memegang tangannya yang terbakar dan mematikan api. Namun ia tidak mampu. “Seandainya waktu itu saya tahu Fitri mau bakar diri, pasti sudah saya cegah,” katanya pelan. Ia memang sama sekali tidak menduga Fitri akan melakukan perbuatan senekat itu. Padahal kalau ia mau terbuka, apa yang diinginkan Fitri bisa dibicarakan bersama.

Hadi kemudian mengungkapkan keinginannya. Seandainya Fitri masih bisa ditolong dan bisa sembuh, meski kondisinya tidak seperi sediakala pun, ia siap menikahinya. “Karena hal ini sudah menjadi tekad saya. Kalau nanti ia sembuh, saya akan langsung menikahinya,” janjinya. Sikap Hadi itu merupakan perwujudan rasa tanggung jawabnya karena sudah terlanjur mengenal Fitri sangat dalam. Tapi ternyata, Tuhan memiliki encana lain. Doel

Kebakaran

Di Tinggal Pulang Lebaran, Rumahnya Ludes di Lumat Api
  • Tiga Anak Ngapani Terancam Putus Sekolah

Tragedi demi tragedi sepertinya hanya akrab dengan orang kecil. Mulai dari penyakit, bayi aneh dan kemiskinan hanya menjadi bagian dari kehidupan orang tak berdaya. Dalam setahun, ribuan peristiwa kebakaran menimpa orang miskin. Dan, di saat Umat Muslim baru saja merayakan hari Idul Fitri, ratusan warga di Jln. Kapten Tendean, RT 05 RW 01 Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, harus bergelut melawan derita, karena rumah mereka hancur dilalap api. Bahkan di antara korban ada yang pada saat terjadi kebakaran tengah merayakan Lebaran di kampung halaman, dan ketika balik menemukan rumahnya yang sudah menjadi puing. Bagaimana kisah di antara korban kebakaran tersebut?

Lelaki paruh baya itu terlihat duduk tenang di atas karpet plastik. Tangannya sesekali digerakkan seirama dengan tutur katanya. Wajahnya kusam, karena sudah dua malam ini ia tidak sanggup memejamkan mata. Rambutnya begitu kusut, matanya terlihat dalam hingga raut wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Ngapani (42), nama lelaki itu. Sejak dua hari lalu, ayah tiga anak ini dipaksa mengungsi ke tempat penampungan karena rumahnya ludes terbakar, saat ia sedang merayakan Lebaran bersama keluarga di Kendal, Jawa Tengah. Akibat kebakaran itu, semua hartanya ludes dilalap jago merah.

Tak ada yang bisa dikatakan dari persitiwa itu, selain penyesalan. Andai saja saat itu Ngapani tidak mudik ke Kendal, mungkin sebagian dari barang-barang miliknya bisa diselamatkan. Tapi apa boleh buat, ia terpaksa mengurut dada setelah mengetahui rumahnya sudah tinggal puin-puing berserakan di tanah. Itu berarti tak satu pun barang-barang berharga miliknya yang bisa diselamatkan. Kejaidan ini membuat beban hidupnya semakin berat. Dalam kondisi normal saja, bebannya sudah sangat berat, apalagi ditambah dengan tragadi kebakaran itu. Bebannya terasa berlipa ganda.

Tanpa disadari, mata Ngapani menerawang jauh. Ia seakan meneropong masa depannya sendiri. Berbagai pertanyaan kemudian bergolak dalam pikirannya. Bagaimana dengan nasib anak-anaknya yang seharusnya sudah sekolah? Bagaimana nasib keluarganya yang membutuhkan biaya setiap hari? Dari mana Ngapani bisa memperoleh uang untuk menyewa rumah sebagai tempat berteduh keluarganya? Sejumlah pertanyaan terus menggerogoti pikirannya.

“Saya memang kehilangan segalanya. Tapi saya masih punya keluarga. Selama ini saya bekerja sebagai penjual ikan di Pasar Mampang. Pekerjaan itu akan saya teruskan untuk mencari uang. Saya hanya berharap, dari pekerjaan ini saya bisa memperoleh uang untuk bisa menghidupi keluarga dan biaya sekolah anak-anak saya,” harap Ngapani yang mengenakan baju kaos kutang dan celana abu-abu, seragam SMU milik anaknya itu.

Meski begitu, pria yang tidak tamat sekolah dasar di kampungnya ini mengaku usahanya tidak akan berjalan mulus. Karena masih banyak hal yang harus ia lakukan untuk bisa memulihkan kondisi ekonomi keluarganya. Itu sebabnya, Ngapani sangat membutuhkan uluran tangan para dermawan yang mau berbuat baik kepada orang-orang yang sedang dirundung malang seperti dirinya.

Yang sangat mendesak bagi Ngapani saat ini adalah bagaimana ia bisa menyewa rumah yang layak untuk keluarganya dan mendapatkan uang bagi biaya sekolah anak-anaknya. Dari hasil pekawinannya dengan Mulyati (36), pasangan ini dikarunai tiga orang anak. Anak sulngnya, Ari Setyawan, 15 tahun kini duduk di kelas 2 SMU di Mampang. Dua anak lainnya adalah Ety (15) kelas 2 SMP dan Chaerul (10) kelas 4 SD juga di Mampang. Namun, istri dan ketiga anaknya kini terpaksa tinggal lebih lama di rumah orang tuanya di Kendal. Sementara Ngapani harus rela tidur beralas karpet plastik di tempat penampungan sementara, ruang kelas TK Budi Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Rumah miliknya yang terbakar, dibangun di atas tanah kontrakkan. Semua barang miliknya dalam rumah semi permanen itu ludes. Seperti lemari pakaian, TV, tape recorder dan alat rumah tangga lain, semuanya hangus. Saat persitiwa itu terjadi, Ngapani sedang mudik ke kampung halamannya di Kendal. Kini, Ngapani sudah memutuskan untuk menghentikan sementara sekolah ketiga anaknya. Karena ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Nanti setelah ia mendapatkan uang, baru ia bisa menjemput istri dan anak-anaknya.

Ditelepon Tetangga. Bagi Ngapani, kejadian yang menimpa rumahnya seperti mimpi. Ia tidak menyangka bakal terjadi musibah kebakaran. Pertama kali ia mengetahui persitiwa kebakaran setelah ditelepon salah seorang tetangganya. Awalnya, Ngapani tidak percaya. “Masa sih, rumah bisa terbakar siang bolong?” batin lelaki yang mengaku tidak lulus SD ini.

Untuk memastikan berita itu, Ngapani menunggu sampai sore hari lewat tayangan televisi. Ia sangat terkejut setelah mengetahui bahwa informasi yang diberikan tetanggnya ternyata benar. “Saya langsung shock melihat rumah saya habis terbakar,” ceritanya dengan nada terbata-bata. Sore itu juga, setelah berpamitan dengan orang tua, Ngapani langsung berrangkat sendirian ke Jakarta untuk melihat kondisi rumahnya. “Selama dalam perjalanan, saya berharap harap ada orang yang bisa menyelamatkan barang-barang milik saya. Tapi ternyata harapan itu sirna setelah melihat kondisi riil di tempat kejadian. Hampir semua korban kebakaran tidak sempat menyelamatkan barang-barang miliknya. Bagaimana mungkin mereka sempat menyelamtkan barang orang lain?” kata Ngapani sambil berlinang air mata.

Kini, Ngapani harus tidur beralaskan karpet tanpa bantal dan selimut. Karena tempat pengungsian sangat sempit, maka setiap kali mau tidur ia harus berdesak-desakan bersama warga lainnya. Tinggal di pengungsian adalah sesuatu yang sangat tidak ia harapkan. Padahal tidak banyak uang yang dibawa Ngapani ketika harus balik ke Jakarta. Karena uangnya sudah habis dibelanjakan untuk keperluan Lebaran. Seperti membeli baju untuk anak-anak dan ongkos mudik ke kampung halaman. Untungnya, saat musibah itu terjadi, banyak orang atau lembaga yang memberikan bantuan keperluan sehari-hari, sehingga kesedihan dan beban warga sedikit tertolong.

Terancam Putus Sekolah. Selain musibah kebakaran, hal lain yang membuat Ngapani sedih adalah ia tidak bisa membawa keluarganya balik ke Jakarta. Padahal ketiga anaknya sudah harus mulai masuk sekolah. “Mungkin saya harus menunda dulu sekolah anak-anak sampai saya bisa mengumpulkan uang guna membelikan buku dan baju seragam baru buat mereka,” keluhnya sambil menatap bangunan rumahnya yang hangus terbakar. Tanpa disadari, pria yang selalu mengenakan tas pinggang ini menitikan air mata. Ngapani kemudian mengutarakan keinginannya sebagai kepala keluarga. Ia sangat ingin anak-anaknya bisa masuk sekolah lagi. Tapi bagimana mungkin anak-anak bisa sekolah kalau semua buku dan seragam sekolahnya hangus terbakar?

Profesi Ngapani sebagai penjual ikan di Pasar Mampang Prapatan memang tidak bisa menghasilkan banyak uang dalam sekejap. Itu sebabnya, untuk menunjang ekonomi keluarga, istrinya membukat kue untuk dijual di pasar. Sebagai buruh, penghasilan Ngapani tidak seberapa. Jadi, untuk membangun rumahnya kembali atau mencari kontrakan baru, ia harus menunggu hingga berbulan-bulan untuk mengumpulkan uang. Sekarang kondisi Ngapani sangat memperihatikan. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi selain baju yang menempel di badannya. Harta yang ia kumpulkan dengan susah payah selama kurang lebih 26 tahun tinggal di Jakarta, semuanya hangus terbakar.

Baginya, targedi ini adalah musibah terberat yang harus ia jalani. Beban itu terlukis dari raut wajah dan pakaiannya yang terlihat kusam. Tak banyak yang bisa diharapkan oleh para korban kebakaran, kecuali agar mereka bisa menghuni kembali rumah yang sekarang telah menjadi puing-puing. Demikian juga halnya dengan Ngapani sekeluarga, ia sangat berharap pemerintah mau membantu mendirikan kembali bangunan rumahnya yang hangus terbakar.

Peristiwa kebakaran itu terjadi pada hari Jumat (27/10) pukul 14.00 WIB di saat warga sedang beristirahat sehabis menjalankan ibadah shalat Jumat. Musibah itu berawal ketika salah seorang warga yang bernama Latif sedang memasak daging sepulang dari pasar. Entah apa pemicunya, tiba-tiba kompornya meledak. Malapetaka itu mengagetan penduduk. Masyarakat berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan barang-barang yang dianggap penting sambil meminta pertolongan dari warga sekitar. Tapi kobaran api begitu besar karena sebagian besar bangunan terbuat dari bahan gampang terbakar, seperti bambu dan tripleks, warga tidak bisa berbuat apa-apa.

Sekitar satu jam kemudian, baru tiba delapan unit mobil pemadam kebakaran untuk menjinkan api. Setelah dua jam bertarung dengan api, barulah pasukan pemadam kebakaran mampu menjinakkan si jago merah. Dalam musibah Jumat kelabu memang tidak ada korban jiwa. Namun kerugian diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Sedikitnya 46 rumah ludes terbakar dan 144 jiwa hidup dalam pengungsian. Setelah beberapa hari dalam pengungsian, warga Jln. Kapten Tendean, RT 05 RW 01 Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tampak mulai membersihkan puing-puing rumahnya sambil mencari-cari barang yang masih bisa untuk diamankan. Hingga saat ini, para korban kebakaran masih dibantu oleh dapur umum yang dikerjakan oleh para relawan dari Palang Merah Indonesia (PMI). Doel

Side Bar I

Mochamad Tohir (Ketua RW 1)

Latif Sudah Tiga Kali Mencoba Bakar Rumah

“Seandainya Latif tidak mabuk, mungkin peristiwa kebakaran ini tidak perlu terjadi,” kata pertama yang diungkapkan Mochamad Tohir, Ketua RW 01, Mampang Prapatan Jakarta Selatan yang baru menjabat tujuh bulan. Sebenarnya, bukan baru sekarang ini Latif memicu peristiwa pembakaran. Sudah sejak lama, kalau sedang mabuk, Latif selalu mengancam akan membakar rumah. Peristiwa ini merupakan kasus ketiga. Pada kasus pertama, ia pernah membakar kasur di kamarnya karena alasan yang tidak jelas.

Untungnya, kasus ini segera diketahui warga sehingga api yang sudah mulai membesar, segera dipadamkan warga. Kasus kedua, ia juga pernah membakar kertas di dalam rumahnya. Kejadian itu hampir saja membakar rumahnya, namun hal itu segera diketahui warga sehingga api segera dihentikan. Sedangkan kasus ketiga, entah karena disengaja atau tidak, Latif membakar rumanhya sehingga api merambat ke rumah tetangganya. Kali ini warga tidak bisa membantu memadamkan api karena umumnya tetangga sedang mudik Lebaran.

Dalam pengakuannya di kantor Polsek Mampang, Latif mengatakan bahwa persitiwa kebakaran itu disebabkan bukan karena kompor yang melesak, tapi hubungan arus pendek dari kipas angin yang lupa dimatikan. Sebetulnya, Latif bukan pemilik rumah yang ia tempati sekarang. Ia hanya menumpang di rumah Selamet, kakak iparnya. Waktu peristiwa itu terjadi, Selamet tidak ada di rumah karena sedang bekerja.

Menurut Mochamad Tohir, warga sudah sangat kesal dengan tingkahlaku Latif. Ia sering meminta minta uang dari para pedagang di Pasar Mampang untuk mabuk-mabukan. Kalau saja pada peristiwa kebakaran itu, Latif tidak segera diamankan polisi, mungkin ia sudah dilempar warga ke dalam rumah yang sedang terbakar. Namun sebagi ketua RW, Mochamad Tohir berharap peristiwa ini tidak terulang lagi. Baik di lingkungannya, maupun di tempat lain. Karena persitiwa seperti ini menelan banyak kerugian. Enrah itu kerugian material maupun kerugian psikis. Apalagi dalam kondisi sekarang, sangat sulit mencari kerja. Doel

Side Bar...2

Ustadz Muslim Bakri :

“Semua harta adalah titipan Allah”

Dalam pandangan Ustadz Muslim Bakri, peristiwa kebakaran yang terjadi di Mampang Prapatan itu merupakan salah satu bentuk ujian dari Allah SWT. Apakah masyarakat siap menghadapi ujian tersebut ataukah tidak, terutama setelah melewati sebulan berpuasa. Menurutnya, jika korban bisa melewati peristiwa tersebut dengan hati yang ikhlas dan menganggapnya ujian bukan sebagai musibah, maka kualitas ketakwaan seoarang hamba Allah akan bertambah menjadi lebih besar.

Salah satu tujuan ibadah puasa adalah untuk memperoleh ketakwaan. Realisasi dari ketakwaan tersebut sebagimana yang tersirat dari surat Al-Imran ayat 133 ada tiga. Pertama, orang akan meng-infaq-an hartanya baik dalam keadaan sulit maupun dalam keondisi berkelimpahan. Kedua, akan menjadi orang yang tabah ketika mendapat musibah. Ketiga, menjadi lapang dada sehingga bersedia memaafkan kesalahan sesama.

Menurut Ustadz Muslim Bakri, ketika orang mendapatkan musibah, ia harus sadar dan yakin bahwa cobaan itu datangnnya dari Allah. Dan yang pasti, Allah mempunyai rencana dan maksud sendiri terhadap musibah tersebut. Jadi, jangan sekali-kali kita mempunyai persangka yang jelek terhadap Allah SWT. Seolah-olah Allah tidak tahu yang terbaik bagi umatnya. Selain itu, sebagai orang beriman, sikap yang harus mereka tunjukkan dalam menghadapi musibah kebakaran tersebut adalah selalu sabar. Karena kesabaran bisa mendorong mereka untuk bisa ikhlas. Karena harta yang mereka miliki saat ini, pada hakikatnya adalah titipan Allah yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh pemiliknya. Dan, kita tidak tahu bagaimana cara mengambilnya. Bisa jadi lewat kebakaran atau dengan cara lainnya. Sedangkan, kalau mendapat nikmat, mereka harus bersyukur. Karena dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat yang diperoleh.

Sebagaimana pesan Rosulullah SAW sehabis memperoleh kemenangan pada Perang Badar. Dalam sejarah Islam, Perang Badar merupakan perang terbesar pada masa Rosulullah. Tapi apa kata Rosulullah sesudah perang tersebut, bahwa ada perang yang lebih besar lagi yang akan dihadapi oleh kaum Muslim, yaitu perang melawan hawa napsu. Peringatan Rosulullah SAW tersebut seharusnya dijadikan pelajaran bagi para korban kebakaran di Mampang. Setelah sebulan berpuasa, akhirnya umat Muslim mendapatkan kemenangan. Tapi disaat kemenangan itu diperoleh, disusul dengan ujian baru, yakni persitiwa kebakaran. Kalau korban belum bisa menerima musibah kebakaran yang menimpanya, berarti mereka masih dikuasai hawa napsu yang selalu mencintai kenikmatan dunia. Doel