Sarni (86)
Ajudan Jenderal Soedirman yang Tidak Pernah Diberi Pensiunan, dan Kini Menjadi Tukang Sapu
- Rumahnya Digadaikan untuk Mengurus Pensiunan
Hari Kemerdekaan 17 Agustus selalu diperingati dengan gegap gempita oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian, gegap gempitanya perayaan hari kemerdekaan tersebut sangat kontras dengan nasib para Veteran pejuang kemerdekaan. Sebut saja Sarni, pria asal Desa Sobontoro Tulung Agung, Jatim, yang dulu pernah berjuang merebut kemerdekaan bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman. Kini, ia harus berjuang seorang diri untuk mempertahankan hidupnya dengan menjadi seorang tukang sapu jalanan di pasar Templek Sobontoro. Sudah 62 tahun bangsa Indonesia merdeka namun nasibnya tidak pernah diperhatikan. Bagaimana keseharian Sarni? Kenangan apa yang paling membekas saat bersama Jenderal Soedirman?
Udara sejuk dan dingin di pagi hari menyambut kedatangan Realita pada hari Rabu (22/07) di kota Tulung Agung, Jawa Timur, yang dikenal sebagai penghasil marmer terbesar di Indonesia. Di kota yang hanya berjarak sekitar 90 km dari Pacitan (dimana Presiden SBY dilahirkan, red) itulah Sarni, salah seorang mantan ajudan Jenderal Soedirman tinggal.
Sarni, itulah nama yang diberikan orang tuanya pada 68 tahun silam. Kakek satu cucu ini merupakan salah satu dari mantan Veteran perang yang nasibnya kurang beruntung. Mbah Sarni, begitu ia kerap disapa, merupakan anak pertama dari enam bersaudara pasangan almarhum Kabul dan Sarmi. Rupanya, nama Sarni bukan sembarang nama, orang tuanya menamai Sarni dengan maksud tertentu yaitu singkatan dari “Saya Anak Rakyat Nasional Indonesia.” Dengan nama tersebut, tentu saja orang tua Sarni berharap agar kelak Sarni menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Tidak berbeda dengan Sarni, demikian juga halnya Sarmi, nama sang ibu yang juga memiliki arti khusus yaitu “Saya Anak Rakyat Miskin Indonesia.” Masa penjajahan pada waktu itu memang membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang miskin dan bodoh. Baik Sarmi maupun Kabul berharap, anaknya kelak bisa mengusir penjajah dari bumi pertiwi yang membuat bangsa ini menjadi miskin. Tak heran kalau ada dua orang dalam keluarganya yang menjadi tentara yaitu Sarni sendiri dan adiknya, Samiri. Akan tetapi, nasib Samiri tidak seberuntung kakaknya. Samiri belum sempat menikmati indahnya hidup di alam kemerdekaan karena keburu menghadap Yang Maha Kuasa.
Saat muda, Sarni melihat bangsa Belanda menjajah Indonesia dengan semena-mena sehingga menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan di mana-mana. Hatinya pun terketuk untuk membebaskan bangsa ini dari kungkungan penjajah. Ia tidak rela tanah airnya diinjak-injak oleh bangsa lain. Dengan tekad bulat, Sarni mendaftarkan diri menjadi tentara rakyat yang siap mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan bangsa ini. Berkat kesungguhannya itulah di usianya yang ke-22 tahun, ia diterima di Angkatan Darat tepatnya pada tahun 1943.
Setelah diterima kemudian Sarni dilatih di kota Surabaya selama enam bulan. Menurut Sarni, waktu itu belum ada kesatuan, yang ada hanya sebuah Badan yang mirip seperti kesatuan sekarang.Sarni sendiri masuk dalam Badan di kota Surabaya.
Ajudan Jenderal Soedirman. Ketika Jenderal Soedirman jatuh sakit sehingga tidak bisa memimpin peperangan, Sarni ditugaskan oleh komandannya untuk menjaga Jenderal Soedirman dari incaran tentara Belanda. Jenderal Soedirman sendiri waktu sakit bersembunyi di kaki Gunung Willis, Nganjuk Jawa Timur. Sebagai anak buah, Sarni tidak pernah lengah dan selalu siap siaga setiap waktu untuk menjaga Jenderal Soedirman. Di matanya, sosok Jenderal Soedirman adalah orang yang sangat pintar dan bijaksana. Oleh Jenderal Soedirman, Sarni kerap dinasehati agar dalam berjuang selalu berhati-hati dan kelak jangan mengharapkan imbalan setelah merdeka.
Akan tetapi, Sarni sendiri tidak lama menjaga Pak Dirman-sapaan Jenderal Soedirman. Ia hanya menjaga sekitar lima bulan. Ketika kota Sidoarjo, Tanggulangin, diserang oleh pasukan Belanda, Sarni dipindahkan ke Kota Sidoarjo untuk membantu tentara yang lain. Menurutnya, pertempuran di Sidoarjo merupakan pertempuan yang sangat menegangkan selama ia berperang karena pada waktu itu tentara Belanda dengan persenjataan yang modern sudah hampir menguasai seluruh kota. Sedangkan tentara Indonesia sendiri hanya sebagian saja yang memegang senjata dan sebagian yang lain hanya menggunakan bambu runcing. Sarni sendiri waktu itu juga hanya menggunakan bambu rucing. Ketika pertempuran sedang berkecamuk, tiba tiba saja Sarni terkena tembakan di bagian kepala. Untungnya saat itu posisi Sarni sedang dalam keadaan tiarap sehingga hanya terserempet saja. Meski hanya terserempet, namun cukup melukai kepalanya hingga darah pun mengalir bercucuran membasahi kepalanya. Setelah tentara Belanda mundur, Mbah Sarni segera ke barak untuk diobati.
Selama menjadi tentara, Mbah Sarni hanya dibayar Rp 35. Meskipun terbilang kecil saat itu, namun Sarni menerimanya dengan lapang dada karena tujuan dia masuk tentara bukanlah untuk mencari uang namun untuk mengabdi kepada negara. Pada tahun 1968 ketika kondisi bangsa sudah tenang dan bangsa Belanda sudah hengkang dari Tanah Air, Sarni pun berhenti menjadi tentara. Sejak saat itu pulalah ia tidak lagi menerima gaji dari pemerintah.
Menjadi Buruh Tani. Setelah berhenti menjadi tentara, Sarni mulai bekerja sebagai buruh tani di desanya. Sebagai buruh yang menggarap sawah orang lain, Sarni hanya menerima uang ketika panen saja. Sehingga pendapatannya sangat bergantung dari hasil panen. Kalau panen bagus ia akan menerima uang banyak, kalau gagal panen ya tidak menerima apa-apa. Tapi menurutnya selama bekerja sebagai buruh tani, ia paling banyak mendapat bagian sebesar Rp 200 ribu.
Sarni yang biasa disebut orang di sekitarnya dengan sebutan Mbah Sarni, hanya memiliki satu orang anak yaitu Musaroh Eko Bangun Wati hasil pernikahannya dengan Musriyah. Karena hanya memiliki satu anak, Mbah Sarni sangat berharap anaknya kelak akan menjadi orang pintar. Ia pun berencana akan menyekolahkan anaknya hingga tingkat Universitas. Tapi karena tidak punya biaya, selepas sekolah SMU, putrinya hanya melanjutkan ke tingkat D-1 saja.
Menjadi Tukang Sapu. Pada tahun 1972, di usianya yang ke-51 Mbah Sarni merasa sudah tua dan tidak kuat lagi untuk mencangkul di sawah. Mbah Sarni pun memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai buruh tani. Setelah tidak lagi bekerja sebagai buruh tani sebenarnya Mbah Sarni ingin berjualan sembako di rumahnya agar bisa menikmati hari tua dengan tenang bersama istri dan anaknya. Namun karena tidak punya modal, Mbah Sarni mengurungkan keinginannya. Dan karena desakan ekonomi, akhirnya Mbah Sarni memutuskan untuk menjadi tukang sapu di pasar Templek Sobontoro, Tulung Agung, Jawa Timur. “Sebenarnya saya tidak ada keinginan untuk menjadi tukang sapu, tapi mau kerja apa lagi. Mau jualan tidak punya modal. Jadi tukang becak, sudah tidak punya tenaga, terpaksa saya jadi tukang sapu yang tidak banyak mengeluarkan tenaga,” ujarnya dengan sesekali terbatuk.
Adapun jarak antara pasar Templek, tempatnya menyapu dengan rumah Mbah Sarni lumayan jauh yaitu sekitar 1 kilometer. Setiap hari dengan sepeda pancal tuanya, pagi-pagi buta Mbah Sarni sudah berangkat ke pasar Templek. Tepatnya pukul 05.00 pagi Mbah Sarni harus sudah sampai di pasar sebelum para pedagang datang untuk membereskan lapak-lapaknya. Kegiatan menyapunya baru berhenti pada pukul 09.00. Namun setelah itu Sarni juga tetap bersih-bersih kembali.
Selain sebagai tukang sapu pasar, Mbah Sarni juga bertugas sebagai penarik karcis pasar. Pasar Templek sendiri bukanlah pasar yang besar, jumlah pedagangnya hanya sekitar 20 orang yang hanya menjual sayur mayur dan alat-alat dapur. Karena jumlah pedagangnya yang sedikit itulah dalam sehari Mbah Sarni hanya bisa mengumpulkan uang paling banyak 5000 rupiah karena tidak semua para pedagang mau membayar karcis. Bahkan jika musim hujan tiba, terkadang Mbah Sarni tidak mendapatkan uang sama sekali. Padahal ia harus menyetor ke desa setiap bulan Rp 50 ribu. “Makanya kadang saya sering nombokin kalau kurang dari Rp 50 ribu,” tuturnya dengan logat jawa yang kental. Selama satu bulan, dari penghasilannya sebagai tukang sapu, Sarni hanya mendapat sekitar seratus sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Dengan uang sekecil itu ia harus menghidupi istri dan satu orang anaknya. Istri Mbah Sarni sendiri hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga biasa saja.
Tak heran kalau kehidupan Mbah Sarni sangat sederhana. Di dalam rumahnya, tidak ada barang-barang mewah. Satu-satunya barang yang terlihat mewah hanyalah kursi sofa warna cokelat yang sudah tidak empuk lagi jika diduduki. Kursi itu pun didapat dari hasil sisa uang menjual tanahnya yang berada di belakang rumah untuk membiayai sekolah anak semata wayangnya.
Sering Sakit-Sakitan. Karena kondisinya yang sudah semakin sepuh, Mbah Sarni sering mengalami sakit-sakitan. Sejak tahun 1992 Mbah Sarni sering terkena batuk. Kalau sudah batuk, bisa sampai mengeluarkan darah. Padahal sudah banyak uang yang telah dikeluarkan untuk mengobati penyakitnya. Namun penyakit Mbah Sarni tidak juga kunjung sembuh. Bahkan pada tanggal 1 Agustus 2007 lalu, Mbah Sarni sempat diopname selama empat hari di rumah sakit Tulung Agung karena muntah darah. Untungnya pada awal Januari, Mbah Sarni sudah punya kartu Askes sehingga perawatannya gratis. Menurutnya, sebelum punya kartu Askes, tidak ada satu orang pun yang membantu biaya pengobatannya. Terkadang Sarni harus meminjam dari tetangga untuk membayar biaya rumah sakit.
Sejak menderita sakit batuk, Mbah Sarni jarang mau makan. Kondisi kesehatan tubuhnya pun terus menurun padahal istri dan anaknya sudah sering memperingatkan. Namun Mbah Sarni tetap saja susah untuk diajak makan. Hari-hari Mbah Sarni sendiri banyak dihabiskan di rumah. Tidak banyak aktivitas yang dilakukan. Biasanya sehabis dari pasar ia langsung istirahat dan bermain dengan cucunya, Habib Ali Afzalul Rahman, putra dari anak semata wayangnya. Selain itu, Mbah Sarni juga ditunjuk oleh masyarakat sebagai ketua RW I di Dusun Ngerco. Sebagai ketua RW, Mbah Sarni tidak pernah mendapat gaji maupun tunjangan dari pemerintah setempat. Justru terkadang ia mengeluarkan uang jika ada kegiatan di dusunnya.
Gadai Rumah untuk Ngurus Pensiunan. Pada pertengahan tahun 1985, Mbah Sarni bertemu dengan Karsono, salah satu pegawai di kantor Veteran. Mbah Sarni pun bercerita kalau dirinya mantan veteran perang tahun 1945. Oleh Karsono, Mbah Sarni diminta untuk mengurus pensiunnya. “Mbah urus saja pensiunnya biar nanti dapat tunjangan dari pemerintah, kan eman kalau tidak diurus,” ujar Mbah Sarni menirukan ucapan Karsono.
Sebelum bertemu dengan Karsono, Mbah Sarni tidak pernah berfikir untuk mengurus pensiunnya karena baginya ia berjuang karena panggilan hati. Akan tetapi ketika bertemu dengan Karsono, ia pun tergerak untuk mengurus pensiunnya. “Kalau tidak dikasih tahu sama Karsono, tidak mungkin saya mengurus itu,” ungkapnya. Saat itu Mbah Sarni juga berfikir dirinya sudah tua dan hanya bekerja sebagai tukang sapu. Mbah Sarni membayangkan setelah mendapat uang pensiun ia akan hidup tenang bersama keluarga.
Namun, rupanya untuk mendaptakn haknya sebagai pensiunan tentara pengabdi negara tidaklah sesederhana itu . Dipikirannya kala itu, ia hanya cukup melapor ke Kodim saja lalu oleh Kodim akan diurus. Tapi ternyata ia harus melapor terlebih dahulu ke desa, kecamatan, kapolres, dan barulah ke kodim. Yang membuat Mbah Sarni kesal adalah setiap melapor, ia dimintai uang administrasi yang tidak sedikit jumlahnya. Karena sudah terlanjur keluar uang banyak dan janji manis akan mendapat uang pensiun, Mbah Sarni pun tidak putus asa. Bahkan karena ingin prosesnya cepat, Mbah Sarni sampai menggadaikan sertifikat tanahnya demi mendapat uang 500 ribu rupiah. Dari pinjaman itu, Mbah Sarni juga harus membayar bunganya. Padahal rumah tersebut adalah warisan dari orang tuanya. Menurut Sarni, sudah jutaan uang yang ia keluarkan untuk bisa mengurus pensiunnya. Dari mulai menjual barang-barang yang ada di rumah, menggadaikan sertifikat tanah, bahkan sampai pinjam uang dengan para saudara dan tetangganya.
Namun, setiap kali Mbah Sarni menanyakan ke kantor veteran, orang-orang veteran yang berjaga hanya memberi alasan belum di Acc dari pusat dan Mbah Sarni diminta untuk sabar menunggu karena yang mengajukan pensiun tidak sedikit. Karena tidak ada kepastian, akhirnya Mbah Sarni pun tidak pernah memikirkan tentang status pensiunannya.
Hingga pada suatu hari di bulan Maret tahun 1998, Mbah Sarni mendapat surat dari kantor veteran. Ia diminta untuk datang. “Saya pikir SK pensiun saya sudah keluar. Saya sudah punya angan-angan untuk segera melunasi utang-utang dan mengambil surat tanah. Tapi ternyata ia hanya mendapat selembar surat piagam penghargaan saja dari presiden Soeharto,” keluhnya. Satu bulan kemudian ia juga mendapat piagam penghargaan dari Jenderal Wiranto sebagai mantan veteran BKR. Menurut Sarni, kalau dia tidak punya janji untuk mengambil sertifikat tanah yang telah digadaikan, mungkin ia sudah meninggal. Pasalnya, teman-teman seperjuangannya dahulu sudah meninggal semua. “Nasib teman-teman saya sebelum meninggal juga tidak ada yang beruntung. Kebanyakan teman-teman saya hanya menjadi buruh tani,” terangnya.
Mbah Sarni pun memahami kenapa kebanyakan para mantan veteran perang nasibnya kurang beruntung. Karena kebanyakan dari mereka tidak punya keahlian termasuk dirinya. Pada masa penjajahan, ia tidak sempat berfikir untuk belajar. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana agar bangsa ini merdeka.
Mbah Sarni sendiri tidak pernah berharap akan dikasihani orang lain meski memang orang tidak ada yang peduli dengan nasibnya kini. Padahal dahulu jika sehabis pulang bertempur, orang-orang menyambutnya sebagai pahlawan. Namun setelah merdeka, orang-orang melupakannya. Bahkan kadang tidak sedikit juga ada orang yang mencibir pekerjaannya sebagai tukang sapu pasar. Tapi Mbah Sarni menerima semuanya dengan lapang dada. “Saya harus terima kondisi ini apa adanya meskipun saya mantan tentara 45, kalau saya mau marah, marah sama siapa,” tanyanya.
Bagi Mbah Sarni, selagi pekerjaan itu halal dan ia sanggup mengerjakannya maka akan ia lakoni meskipun pekerjaan itu oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai pekerjaan yang rendah. Meski tidak ada orang yang menghargai atas perjuangannya selama ini, Mbah Sarni tidak merasa menyesal atau bersedih karena baginya berjuang adalah tugas yang paling mulia untuk membebaskan bangsa. Menurutnya, bulan Agustus 2007 lalu merupakan bulan yang paling membahagiakan. Pasalnya, sejak ia berhenti dari tentara pada tahun 1986, tidak ada seorang pun yang pernah menanyakan kehidupannya kini. Tapi pada bulan Agustus tahun ini setelah beberapa media mengangkat profilnya, sontak berbondong-bondong orang dari mulai pejabat sampai anak-anak sekolah, datang menemuinya. Bahkan Bupati Tulung Agung Ir. Heru Tjahjono saja tidak tahu kalau salah satu warganya ada yang bekas veteran perang. “Bupati baru tahu setelah lihat koran. Bupati pun mengundang saya ke pendopo dan memberikan penghargaan dan syukuran buat saya. Saya sangat senang sekali orang mulai menanyakan kondisi saya,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Doel
Side Bar I
Musaroh Eko Bangun Wati (24), Putri Mbah Sarni
“Saat SMP bapak menjanjikan akan membelikan sepeda jika pensiunnya turun”
Sebagai anak satu-satunya, Musaroh Eko Bangun Wati atau yang biasa disapa Wati ini sebenarnya ingin sekali membahagiakan kedua orang tuanya. Terutama kepada bapaknya yang sudah sangat sepuh. Namun ia juga tidak bisa berbuat banyak karena ia sendiri tidak bekerja. Setelah lulus SMU, ia langsung menikah dengan pemuda di kampungnya yang bernama Tri Agung Puji Jatmiko. Wati sendiri sudah meminta kepada bapaknya untuk tidak bekerja lagi, namun karena bapaknya tidak mau, ia pun tidak bisa memaksa. “Bapak orangnya tidak mau merepotkan orang lain meskipun kepada anaknya sendiri. Padahal saya sudah berkali-kali meminta untuk istirahat dan membuatkan warung untuk aktivitas bapak, namun bapak tetap saja bekerja,” ujar wanita berkerudung ini.
Sebagai anak mantan veteran, Wati merasa sangat bangga karena bapaknya ikut berjuang dalam memerdekakan bangsa ini. Tapi ia juga sangat perihatin dengan kondisi bapaknya yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Wati ingat betul saat masih duduk di bangku SMP kelas satu ketika ayahnya akan mengurus surat pensiun. Bapaknya selalu minta didoakan agar surat pensiunnya segera turun. Bapaknya juga selalu menjanjikan kalau dapat uang pensiun nanti akan membelikan sepeda untuk Wati pergi ke sekolah. Wati pun sangat berharap agar SK pensiunnya cepat turun. Tapi ternyata sampai ia sudah menikah dan punya anak, surat pensiun itu tak kunjung turun juga. Kini, baik Wati maupun orang tuanya tidak pernah berharap lagi akan mendapat pensiun. Wati hanya berharap agar orang tuanya dalam kondisi sehat wal ‘afiat. Doel
Sidebar 2:
Sugi, Tetangga Mbah Sarni
Berharap agar Pemerintah Segera Memberi Uang Pensiun kepada Mbah Sarni
Sebagai mantan veteran perang 45, sosok Mbah Sarni sangat familiar di lingkungannya. Menurut Sugi, meskipun Mbah Sarni mantan veteran perang, ia tidak pernah mengatakan kepada lingkungannya kalau ia mantan veteran perang. Sugi sendiri baru tahu kalau Mbah Sarni adalah mantan veteran perang dari tetangganya. Di matanya, Mbah Sarni adalah orang yang baik dan suka menolong tetangganya. Ia juga orang yang cukup dituakan di dusun Ngerco. “Kalau ada masalah biasanya orang-orang akan minta Mbah Sarni sebagai penengahnya,” ujar bapak dua orang anak ini.
Sebagai tetangga, tentunya ia sangat iba dan kasihan jika melihat pekerjaan Mbah Sarni yang sebagai tukang sapu pasar meskipun Sugi sendiri hanya sebagai tukang becak. Namun jika melihat perjuangan Mbah Sarni pada masa penjajahan, dalam benaknya seolah-olah tidak ada perhatian dari pemerintah terhadap nasib para veteran perang. Sugi juga berharap agar pemerintah segera memberikan uang pensiun Mbah Sarni. Karena sebagai tetangga tentunya Sugi tahu bagaimana perjuangan Mbah Sarni untuk memperoleh surat pensiun sampai ia menggadaikan sertifikat tanahnya. Doel
Sidebar:
DR. K.H. M. Hamdan Rasyid, MA., Ketua MUI Jakarta
Seharusnya Pemerintah Memperhatikan Orang-Orang yang Berjasa Memerdekakan Negara
Menurut KH. Hamdan Rasyid, masalah kemiskinan adalah takdir Tuhan yang bisa diubah dengan usaha kita. Karena Allah tidak pernah memperlihatkan takdir seseorang, kecuali senantiasa menjadi misteri, agar manusia mencari jawabannya. Kalau manusia tidak berjuang untuk memecahkan misteri takdirnya, maka akan tetap terpuruk dalam kemiskinan dan kefakiran. Sementara mereka yang berhasil memecahkan persoalan hidupnya, akan mendapatkan takdirnya sebagai orang yang kaya.
Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa manusia tetap dituntut untuk berupaya seoptimal mungkin untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat dengan seimbang tanpa melupakan sisi pasrah dan tawakal manusia terhadap Penciptanya. Pasrah bukan berarti sikap fatalis yang hanya menunggu perubahan dari Allah atau bertindak sesuatu yang irrasional. Sebagaimana yang dinyatakan dalam AlQuran, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS 13:11). Selain itu Allah SWT juga mengisyaratkan manusia untuk terus bekerja dan berbuat untuk tujuan jauh ke masa mendatang yaitu bertindak untuk tujuan akhirat tanpa melupakan sisi manusiawi seorang hamba untuk bekerja dan beraktivitas demi kehidupannya di dunia. Dalam hal ini Allah berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kamu kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu."(QS 28:77 ).
Sedangkan mengenai nasib Sarni yang menjadi tukang sapu itu merupakan takdirnya, sehingga tergantung Sarni sendiri mau mengubah atau tidak. Selain itu, seharusnya juga ada perhatian dan penghargaan dari pemerintah agar orang-orang yang telah berjasa memerdekakan bangsa ini bisa menikmati masa tuanya dengan tenang.
Maka, dengan demikian hikmah yang dapat diambil, janganlah putus asa mencari rezeki Allah, karena Allah mengetahui yang terbaik buat hamba-Nya. Selalu berkhusnudzon kepada Allah, karena dengan berkhusnudzon kita akan dimudahkan dalam segala urusan. Dan yang terakhir adalah ikhlas, karena dengan ikhlas menerima kenyataan hidup, akan memberikan harapan yang positif di hari depan. Doel