Rabu, 09 April 2008

Ustadz Arifin Mohamad Amien, Pembina Yayasan Nurul Alam

Ustadz Arifin Mohamad Amien, Pembina Yayasan Nurul Alam

Rela Tinggal di Masjid Bersama para Pasien Pecandu Narkoba dan Stres

Selama ini banyak stigma negatif terhadap para pecandu narkoba dan orang-orang stres. Mereka pun sering diasingkan dan terbuang dari keluarganya. Melalui Yayasan Nurul Alam, Ustadz Arifin (32) menampung orang-orang terbuang itu. Setiap hari, meski tidak dibayar, dengan penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah, ia merawat serta membimbing para korban narkoba dan orang-orang stres. Apa yang mendasarinya?

Di sebuah Masjid di kawasan Bekasi, terlihat segerombol pria dengan rambut acak-acakan duduk di pojok Masjid. Pakaian mereka pun terlihat sangat lusuh. Sesekali mereka tertawa dan menangis. Orang-orang itu memandang dengan tatapan mata kosong. Mereka adalah para korban narkoba dan orang-orang sakit jiwa yang sedang menjalani proses rehabilitasi di Masjid tersebut. Sementara di sisi lain ada juga beberapa pria yang asyik berdzikir dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Tempat rehabilitasi itu menempati ruangan Masjid yang sangat sederhana. Masjid yang bernama Nurul Hidayah itu oleh masyarakat di sekitarnya disebut dengan nama Masjid Buntung. Terletak berada jauh dari pusat keramaian kota, tepatnya di ujung Rawa Ceper, Desa Sukasari, Kecamatan Serang Baru, Bekasi. Untuk bisa sampai di lokasi tersebut kita harus melewati jalan setapak dan bebatuan, yang kanan-kiri jalan masih dipenuhi dengan pepohonan besar nan rindang. “Kami memilih tempat ini karena masih sejuk dan asri agar para pasien bisa berkonsentrasi dan tidak terganggu,” jelas Ustadz Arifin, Pembina Yayasan Nurul Alam membuka obrolan kepada Realita pada Selasa sore (5/2) di belakang Masjid.

Rehabilitasi Cuma-Cuma. Latar belakang berdirinya Yayasan Nurul Alam, menurut Ustadz Arifin, berangkat dari motivasi ingin turut berdakwah dalam menyiarkan agama Islam. Dan, pilihan dakwahnya jatuh melalui rehabilitasi para korban narkoba dan orang-orang stres. Sebab menurutnya, dakwah tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang waras saja, tetapi dakwah juga bisa dilakukan dengan cara menangani orang-orang yang mengalami gangguan jiwa.

Selain itu, tambah Ustadz Arifin, tidak semuanya para pecandu narkoba dan orang-orang stres berasal dari kalangan ekonomi atas. “Kebanyakan tempat-tempat rehabilitasi narkoba dan orang-orang stres, biayanya mahal sehingga hanya bisa dijangkau oleh orang-orang kaya saja. Lalu akan di bawa ke mana kalau ada orang miskin yang pecandu narkoba dan orang stres,” tanyanya.

Berangkat dari fenomena seperti itulah, pada tahun 1992, Ustadz Ridwan Syaifullah (60), mendirikan Yayasan Nurul Alam yang khusus menangani pecandu narkoba dan orang-orang sakit jiwa dari golongan ekonomi kelas bawah. Sebelum berada di desa Ceper Kredok, tempat rehabilitasi Yayasan Nurul Alam berada di daerah Pedongkelan, Cempaka Putih, Jakarta Utara. Pada tahun 2006, saat ada pembuatan jembatan layang, tempat rehabilitasinya tergusur. Berkat bantuan temannya, H. Mahmud Soekya, akhirnya Ustadz Ridwan meneruskan misi mulianya ini ke desa Ceper Kredok yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kota.

Pria kelahiran Bima 10 Juni 1976 ini, menangani para pecandu narkoba dan orang-orang stres pada awalnya karena diminta oleh pamannya, Ustadz Ridwan, selaku pendiri yayasan Nurul Alam. Setelah menamatkan pendidikan SMU-nya di Bima pada tahun 1994, Ustadz Arifin hijrah ke Jakarta untuk berguru kepada pamannya. Selama berguru ia tidak hanya belajar ilmu agama melainkan juga belajar ilmu pengobatan dan sesekali membantu pamannya menangani para pasien.

Karena Ustadz Ridwan sudah sepuh dan perlu regenerasi. Akhirnya, karena dipandang Ustadz Arifin sudah memenuhi syarat, akhirnya sang paman mengamanatkannya untuk meneruskan misinya itu. Namun sebelum diterjunkan dalam misinya itu ia terlebih dahulu diprogram untuk memantapkan ilmunya. Ustadz Arifin pun dikirim oleh Ustadz Ridwan pada tahun 2006 ke kota Surabaya, Jawa Timur, ke Masjid Sunan Giri selama enam bulan untuk itikaf (berdiam diri dalam masjid).

Awalnya saya sempat bingung karena waktu berangkat hanya dibekali uang Rp 50 ribu, tapi Ustadz Ridwan meyakinkan saya bahwa Allah akan menjamin hidup saya selama itikaf, akhirnya dengan modal uang Rp 50 ribu dan keyakinan itulah saya beranikan diri berangkat ke Surabaya,” ungkapnya.

Selama berada di Masjid Sunan Giri, anak pertama dari empat bersaudara pasangan Mohamad Amien (50) dan Aisiyah (40) ini, setiap hari waktunya dihabiskan untuk belajar agama dan mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat dan berdzikir. Setiap enam hari sekali ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Selama enam bulan ia melakukan puasa tanpa putus. Anehnya, saat berbuka ia selalu mendapatkan makanan dari seseorang yang tidak pernah kenal sebelumnya. Sedangkan ketika sahur, ia hanya minum air putih saja. “Mungkin karena niat saya ikhlas beribadah, jadi Allah mengirim saya makanan lewat orang lain,” paparnya.

Selama ber-itikaf di Masjid Sunan Giri, kejadian aneh yang tidak pernah ia lupakan adalah di bulan Ramadhan, tepatnya pada malam ke 25. Saat sedang asyik berdzikir, tiba-tiba saja dalam keheningan malam, ada yang membisiki tentang dunia pengobatan. “Saya tidak tahu siapa yang membisiki, namun suara itu begitu jelas terdengar di telinga,” kisahnya.

Ustadz Arifin mengaku selama menjalankan itikaf banyak sekali godaan-godaan yang menghampirinya setiap malam, namun berkat ketekunannya beribadah, semua godaan itu dapat dilaluinya dengan mudah. Selama ber-itikaf ia banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman-pengalaman baru, salah satunya adalah ilmu tentang pengobatan yang ia tidak terima dari Ustadz Ridwan. Setelah enam bulan itikaf ia pun kembali ke Jakarta dan langsung membimbing orang-orang pecandu narkoba dan orang-orang stres.

Cara Pengobatan. Dalam mengobati para pasiennya, metode yang digunakan terbilang cukup unik. Sebab, Ustadz Arifin tidak menggunakan ilmu-ilmu kedokteran, melainkan hanya menggunakan terapi spiritual. Ustadz Arifin beralasan, bahwa cara spiritual dipakai karena dalam diri pecandu narkoba dan orang-orang stres terdapat jin-jin sehingga untuk menyembuhkannya harus diterapi dengan diajak beribadah agar selalu mengingat kepada Allah.

Selama dalam karantina, para pasien harus melewati beberapa tahapan pengobatan. Seperti setiap pukul 02.00 WIB dini hari, para pasien dimandikan oleh Ustadz Arifin sambil dibacakan doa-doa. Gunanya untuk mengusir jin-jin dan menyegarkan fisik dan pikiran mereka. Khusus untuk para pecandu narkoba, sebelum dimandikan, mereka harus meminum segelas air garam sampai muntah, agar racun dan kotoran dalam perutnya bisa keluar. Setelah itu para pasien diajak shalat malam dan mengaji sampai menjelang adzan shubuh. Pagi harinya setelah olah raga bersama mereka dibimbing beramal shaleh yaitu kerja bakti membersihkan Masjid dan lingkungan tempat tinggal mereka.

Meski para pasiennya kebanyakan adalah orang-orang stres, namun anehnya ketika dimandikan tengah malam, tidak ada yang menolak ataupun melawan. Menurut Ustadz Arifin, segalak apa pun orangnya, ketika sampai di tempatnya (Masjidnya) langsung jinak. Biasanya para pasien yang belum jinak, tempatnya di pisah dengan para pasien yang sudah jinak. Yang belum jinak akan ditempatkan di belakang Masjid untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Biasanya kalau pasien baru dan galak, kaki kirinya akan dirantai terlebih dahulu untuk menjinakkan. Paling lama dirantai satu minggu,” ujar Ustadz berjenggot ini.

Selain diterapi, selama di karantina, para pasien juga mendapatkan pendidikan agama setiap habis shalat. Ustadz Arifin akan memberikan pelajaran-pelajaran agama. Sehingga nantinya ketika sembuh, para pasien punya bekal saat kembali lagi ke tengah-tengah keluarganya. Selain itu, setiap pasien juga diharapkan bisa menularkan pendidikan agama yang telah diterimanya kepada yang lain. Bukan hanya ilmu agama saja yang diberikan, para pasien juga diajarkan ilmu-ilmu yang lain seperti bercocok tanam dan lain sebagainya.

Selama ini dalam mengurusi para pasiennya, Ustadz Arifin hanya melakukannya seorang diri. Namun terkadang ia juga dibantu oleh salah satu rekannya, Ikwan Kafi. Adapun Ustadz Ridwan, sang pendiri, karena tinggal di Jakarta, sejak tempat rehabilitasinya itu dipindahkan ke Bekasi, ia menyerahkan semuanya kepada Ustadz Arifin. Ustadz Ridwan hanya datang sesekali saja, itu pun sekadar untuk mengontrol perkembangan dari para pasien.

Banyak yang Sembuh. Meski metode penyembuhannya terbilang sangat sederhana, namun sudah banyak pasien yang telah sembuh setelah diterapi di Masjid Nurul Alam. Baik para pecandu narkoba maupun orang-orang yang stres. Untuk para pecandu narkoba biasanya bisa sembuh dalam jangka waktu 1 bulan. Sedangkan khusus untuk orang-orang stres, proses penyembuhannya agak lama. Ada yang dua bulan dan ada juga yang sampai satu tahun. “Kalau sebelum masuk di sini sudah lama sakit, biasanya proses penyembuhannya akan lama. Tapi kalau baru sakit dan langsung dibawa ke sini biasanya cepat sembuhnya,” bebernya.

Menurut pria yang selalu senyum ini, pasiennya bukan hanya berasal dari kota Bekasi dan Jakarta saja, tetapi ada juga yang berasal dari luar kota seperti Kalimantan dan Sumatera. Ada yang datang secara resmi seperti diantar keluarganya dan setiap bulan mengirim uang untuk biaya makan dan pengobatan. Namun ada juga pasien yang sengaja dibawa oleh seseorang tanpa diketahui identitasnya. “Seperti orang hilang atau terbuang,” tutur Ustadz Arifin. “Biasanya orang seperti ini karena keluarganya sudah capai dan tidak sanggup lagi mengurusi,” tambahnya. Saat ini jumlah pasien yang berada di bawah asuhan Ustadz Arifin berjumlah 26 orang dan dari berbagai lapisan usia mulai dari umur 25 tahun sampai usia lanjut.

Adapun untuk biaya operasionalnya, karena tidak ada donatur tetap yang membantu operasional kegiatan Yayasan, biayanya diambil dari sumbangan sukarela para orang tua pasien. “Ada yang menyumbang Rp 200 ribu, ada juga yang Rp 300 ribu. Sebab pihak Yayasan Nurul Alam tidak mematok biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya kepada pasien. Dan untuk kekurangan biayanya, biasanya diperoleh dari sumbanga teman-teman Ustadz Ridwan yang masih peduli dengan kegiatan Yayasan. Bahkan kadang juga menerima sumbangan dari mantan-mantan pasiennya yang sudah sembuh dan bekerja. “Banyak sekali para mantan pasien yang menyumbang ke Yayasan. Mungkin mereka merasa tertolong sehingga sering memberi bantuan meski jumlahnya tidak besar tetapi lumayan buat menambah-nambah kekurangan,” ucap Ustadz yang masih lajang ini bersyukur.

Karena keterbatasan dan minimnya dana itulah, pihak Yayasan tidak bisa membangun tempat untuk tidur pasien. Selama ini pasien tidur di dalam Masjid yang berukuran 7 x 9 meter persegi dengan beralaskan karpet yang sudah mulai lusuh. Padahal kondisi Masjid itu sebenarnya sudah tidak layak lagi untuk dipakai karena sejak didirikan pada tahun 1989 tidak pernah direnovasi lagi sehingga atapnya sudah banyak yang bocor. Apalagi kalau turun hujan, airnya sering membanjiri Masjid. Begitu juga temboknya, banyak yang sudah mulai rapuh. Bahkan tempat MCK terlihat sangat kumuh.

Meski menangani para pasien dengan kondisi yang penuh dengan keperihatinan, namun tidak menyurutkan langkah kepedulian Ustadz Arifin dalam menyembuhkan para korban narkoba dan orang-orang stres. Baginya, apa yang ia lakukan selama ini semata-mata hanyalah dalam rangka dakwah untuk mengharapkan ridha Allah. ”Banyak cara untuk ibadah, kebetulan ibadah yang saya lakukan melalui cara seperti ini,” tegas Ustadz yang tinggal dan tidur bersama para pasiennya ini. Doel

Side bar I

Neni, Istri Ustadz Ridwan, Pendiri Yayasan Nurul Alam

Rela Tinggal di Samping Masjid Demi Mengurusi Para Pasien

Selain Ustadz Arifin, orang yang sangat berperan dalam penyembuhan para pasien adalah Ibu Neni. Sebab, ia adalah satu-satunya perempuan yang berada dalam Masjid itu. Sehari-harinya ibu berumur 44 tahun ini bertugas mengurusi masalah dapur. “Saya diminta bapak (Ustadz Ridwan, red) untuk membantu menyediakan makanan para pasien. Sebab saat ini saya sudah tidak lagi mengurusi anak-anak saya karena mereka sudah pada besar-besar,” ujarnya. Para pasien mendapatkan jatah makan sehari dua kali yaitu pagi jam delapan dan malam sehabis shalat Isya dengan lauk pauk tahu tempe.

Dalam sebulan, menurut ibu enam anak ini, bisa menghabiskan beras 4-5 kwintal dan untuk lauk pauk sendiri sehari bisa habis seratus ribu. Belum lagi keperluan gula, teh, sabun, dan lain-lain. “Sebenarnya saya kasihan memberi lauk pauk setiap hari hanya tahu tempe. Tapi kemampuan dananya hanya kuat untuk membeli lauk itu saja,” ungkapnya. Untuk menambah gizi para pasiennya, biasanya setiap sebulan sekali ia membuatkan bubur kacang ijo.

Menurutnya, selama mengurusi anak-anak (pasien-pasien, red) ia tidak pernah pulang. Ibu Neni sendiri tinggal di sebuah kamar khusus yang kecil di samping kanan Masjid. Ia hanya pulang ke rumahnya di Jakarta ketika ada kepentingan keluarga saja seperti menghadiri acara pernikahan dan lain-lain. Itu pun hanya beberapa jam saja. Meski jarang pulang ke rumah, ia mengaku tidak pernah jenuh maupun bosan dalam mengurusi makanan para pasien. “Semua pasien yang ada di sini sudah saya anggap sebagai anak-anak saya sendiri. Jadi, apa yang saya lakukan tidak pernah sebagai beban,” ujarnya. Doel

Side Bare II

Bayu Al-Ersyad, Pasien

Stres karena Sang Ayah Akan Menikah Lagi

Di antara para pasien yang tinggal di Masjid Nurul Alam, Bayu El-Ersyad atau yang biasa dipanggil Bayu ini merupakan pasien yang paling baru dan muda. Ia masuk pada tanggal 7 Januari 2008. Bayu mengaku tidak tahu kalau dirinya akan dibawa ke tempat rehabilitasi yang berada di Desa Sukasari tersebut. “Saya ke sini yang bawa bapak. Katanya akan dibawa ke tempat saudara, tapi ternyata dibohongi, saya malah dibawa ke sini,” ungkap Pria kelahiran Sunter, 22 Juli 1987 ini.

Anak pertama dari dua bersudara ini mengaku dibawa ke tempat rehabilitasi karena stres. Ia tidak terima jika ayahnya menikah lagi karena ia sangat sayang dan kasihan pada ibunya yang harus dimadu. Bayu melampiaskannya dengan cara mabuk-mabukan dan berjudi hingga akhirnya stres berat sampai-sampai ayahnya akan dibunuh. Karena takut Bayu bertambah parah, ia pun dibawa ke tempat rehabilitasi tersebut.

Menurut Ustadz Arifin, kondisi Bayu pada saat masuk sangat galak dan sering berkelahi dengan teman-temannya. Karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan, akhirnya kaki bayu dirantai selama dua minggu. Setiap malam ia juga dimandikan sebagaimana pasien yang lain. Dua minggu kemudian setalah menjalani proses pengobatan, kondisinya sudah mulai membaik. Rantai dikakinya sudah mulai dilepaskan dan kini ia sudah mulai sembuh dan bisa bersosialisasi dengan teman-temannya yang lain di Masjid Nurul Alam. “Alhamdulillah saya sekarang sudah tidak stres lagi dan rencananya saya akan pulang ke rumah awal bulan Maret nanti,” ucapnya penuh syukur. Doel


1 komentar:

GANDARIA RANGERS mengatakan...

Assalamualaikum WrWb.
Saya ingin bertanya mengenai lokasi alamat jelasnya Ust. Arifin M Amien, atau mungkin ada telpon yang bisa dihubungi.
Saya sangat membutuhkan informasi ini

terimakasih