Masniari Siregar, Ibunda Empat Anak Tuna Rungu
Mengubah Keterbatasan Keempat Anaknya Menjadi Kesuksesan Melalui Kasih Sayang dan Doa
Memiliki anak tuna rungu bagi sebagian orang merupakan kekurangan yang harus ditutupi. Tapi berbeda halnya dengan Masniari. Ia justru lebih terdorong untuk mendidik dan memotivasi empat anaknya yang menderita tuna rungu untuk menggapai kesuksesan. Tekad itu pun berhasil berkat kerja keras yang dilakukannya bersama sang suami, Irwan Ibrahim. Bahkan salah satu diantaranya mampu meraih gelar S2 dengan keterbatasan yang dimilikinya. Bagaimana kisah sebenarnya?
Kamis (08/04) Sore, Realita menyambangi kediaman Masniari Siregar, seorang ibu yang memiliki empat orang anak menderita tuna rungu. Rumah Masniari Siregar terletak di perumahan Departeman Keuangan Karang Tengah, Tangerang, Banten. Rumahnya tak begitu besar, tapi nampak asri dengan beberapa pohon yang tertanam persis di depan bangunan rumah tersebut.
Sambutan hangat dari Masniari menyapa kedatangan Realita. Dengan penuh keramahan dan senyum khas, Masniari Siregar langsung mengajak Realita masuk ke dalam ruang tamu untuk berbagi cerita mengenai perjuangannya mengasuh dan mendidik anak-anaknya hingga meraih kesuksesan. Sambil duduk di atas sofa berwarna cokelat, Masniari pun mulai membuka obrolan dengan suasana yang cukup santai.
Wanita yang kerap disapa Masriani ini mengaku, bahwa memiliki anak adalah suatu anugerah tersendiri. Menurutnya, masih banyak perempuan yang sudah menikah bertahun-tahun namun tidak diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki anak. “Saya bersyukur bisa mempunyai anak,” ujarnya. Sejak menikah pada tahun 1942 dengan belahan jiwanya, Ali Panangaran Harahap (72) ia telah dikarunia 6 orang anak, yakni Barli Hakim harahap (43), Raja Muddin (42) Erwin Syarifuddin (40), Rachmita Maun (39), Linda Noura (37) dan Ade Nur Ima (35). Namun dari keenam anaknya hanya Raja Muddin dan Linda Noura yang normal. “Anak lainnya tuna rungu,” ungkapnya. Saat menikah, Masniari mengaku masih sangat muda yaitu berumur berumur 18 tahun sedangkan harahap berumur 28 tahun. Meski terpaut umur 10 tahun, hal tersebut tak membuat Masniari malu, “Cintalah yang menyakinkan saya untuk menikahinya,” cerita Masniari.
Mensyukuri Kekurangan Empat Anaknya. Meski mempunyai anak tuna rungu, Masniari tidak pernah menyesal telah melahirkan anak-anak tersebut. Baginya, anak adalah amanah yang harus dijaga meski memiliki kekurangan. Masniari juga tidak malu dan sakit hati ketika beberapa tetangga yang terkadang mencibirnya karena ia memiliki anak tunga rungu. “Kalau saya malu lalu bagimana dengan anak-anak saya, pasti mereka lebih tidak mempunyai kepercayaan diri lagi,” jelasnya. Masniari pun selalu membesarkan rasa kepercayaan diri anak-anaknya. Varanya adalah dengan mengatakan bahwa mereka anak yang normal seperti anak yang lain hanya saja kurang pendengaran dan susah untuk berbicara. “Saya selalu mengatakan demikian ketika anak-anak menanyakan kondisinya,” ujar Masniari. Sebagai seorang ibu yang memiliki empat orang tuna rungu tentunya membuat Masniari harus mendidik dengan ekstra keras. Pasalnya, kalau mereka dibiarkan, perkembangan anaknya tentu akan lambat. “Saya berbagi peran dengan suami, saya menjaga anak dan suami mencari uang,” terangnya. Suaminya sendiri bekerja di Departemen Keuangan.
Hampir setiap hari, Masniari selalu mendampingi keempat anaknya baik di sekolah maupun di rumah “Habis anak pulang sekolah, saya hampir tidak pernah keluar rumah untuk main ke tetangga. Waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk menjaga anak-anak,” terangnya lagi. Kalau pun Masniari mau keluar biasanya ia pergi bersama suami dan anak-anaknya. Rutinitas kegiatannya tersebut diakui Masniari merupakan ungkapan kasih sayang dari dirinya dan suami. Melalui kasih sayang itulah, ia berharap perkembangan semua anak-anaknya mampu menampakkan keberhasilan di kemudian hari.
Masniari mengaku dalam mendidik anak-anaknya tidak pernah membeda-bedakan antara tuna rungu dan yang normal. “Bagi saya, semua anak sama saja. Jadi saya tidak pernah membeda-bedakan apalagi menganak-emaskan salah satu anak,” paparnya dengan logat batak yang sangat kental. Salah satu didikan yang ia terapkan kepada anak-anak adalah selalu displin dan bertanggung jawab terhadap berbagai macam tindakan yang dilakukan. Sejak kecil semua anak-anak sudah dibiasakan untuk bangun pagi dan sholat shubuh bersama. Setelah itu, mereka diharuskan untuk membersihkan dan merapikan tempat tidurnya masing-masing. “Yang paling bersih merapikan tempat tidur adalah Barli Hakim Harahap anak pertama,” kenangnya.
Budaya disiplin sengaja diterapkan oleh Masniari sejak dini, sebab menurutnya dengan menciptakan budaya disiplin sejak kecil maka akan membentuk karakter anak untuk bertanggung jawab dan mandiri ketika nanti dewasa.”Tidak selamanya saya hidup dengan anak-anak karena suatu saat anak-anak pasti akan hidup sendiri-sendiri dan berpisah dengan saya,” jelas Masniari. Selain itu, Masniari juga berharap kelak anak-anaknya tidak bergantung dengan orang lain karena memiliki kelemahan dalam pendengaran dan pengucapan.
Doa dan Kasih Sayang. Meski setiap hari Masniari selalu mendampingi anak-anaknya bukan berarti semua aktifitas dan kreatifitas anak-anaknya dibatasi. ”Saya tidak mengekang keinginan anak-anak, semua anak-anak saya bebaskan untuk menentukan jalannya masing-masing, karena mereka yang akan menjalani hidup”jelasnya. Seperti saat Rachmita Maun atau yang biasa disapa Mita ingin mengenyam pendidikan dasar di sekolah umum. Sebelumnya, Mita memang mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, ia kemudian memiliki keinginan untuk merasakan pendidikan di sekolah umum. Karena terus menerus merengek untuk bersekolah di sekolah umum, akhirnya keinginan Mita dikabulkan oleh Masniari. ”Kebetulan saya punya kenalan kepala sekolah jadi saya bisa memasukkan Mita di sekolah normal,” ujar nenek enam cucu ini. Mita sendiri mengaku ingin pindah karena merasa mampu untuk mengikuti pelajaran di sekolah umum. Setelah Mita masuk di sekolah umum, sang adik, Linda yang juga tuna runggu masuk di sekolah normal karena memiliki keinginan yang sama dengan Mita. Sedangkan dua kakaknya justru tidak mau masuk di sekolah normal. Meski tuna runggu, baik Mita maupun Linda bisa mengikuti pelajaran. Bahkan Mita selalu masuk dalam ranking sepuluh besar di kelasnya.
Selain mengajarkan budaya demokratis di tengah-tengah keluarga. Masniari juga sangat menekankan pendidikan kepada anak-anakanya, hampir semua anak-anaknya mengenyam bangku kuliah, kecuali Barli Hakim Harahap dan Erwin Syarifudin. Pasalnya, kedua kakak beradik tersebut tidak bersekolah di sekolah normal. Prestasi yang paling mengejutkan adalah Mita, anak keempatnya yang mampu melanjutkan pendidikannya hingga S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengambil Jurusan Interior.
Hampir semua anak-anak Masniari mengalami kesuksesan, dalam menjalani hidup, baik yang tuna rungu maupun yang normal. Salah satu contohnya adalah Barli yang bekerja sebagai pengusaha kebun karet. Rajamudin, sebagai supervisor di sebuah perusahaan bernama PT. Eka Timur Raya di kota Malang, Jawa Timur. Erwin berprogesi sebagai staff marketing di salah satu perusahaan pelayaran. Sedangkan Mita, menekuni karir sebagai dosen sekaligus disain Interior serta Linda bekerja di perusahaan asuransi PT. Bina Griya Upakara. Yang terakhir, Ade bekerja sebagai wiraswasta dan memiliki usaha sendiri yang cukup menguntungkan. Kesuksesan yang diraih anak-anaknya tersebut tak lain dan tak bukan selain usaha anak-anaknya yang gigih untuk belajar, juga disertai doa yang tak pernah berhenti dipanjatkan dari ibunya. Tak hanya itu saja, didikan sang ibu yang mengajarkan kemandirian bagi anak-anaknya, meski sebagian diantaranya adalah tuna rungu. “Hampir setiap siang dan malam saya selalu mendoakan untuk kesuksesan anak-anak saya,” ungkapnya sembari menutup pembicaraan. Doel
Side Bar I
Ir. Rachmita Maun Harahap, M.Sn, Anak Keempat Masniari Siregar
Ingin Mendirikan Universitas Khusus Tuna Rungu
Rachmita Maun Harahap atau yang kerap disapa Mita ini terlahir mengalami kekurangan dalam pendengaran dan kesulitan untuk bicara. Meski demkian, Mita tidak pernah menyesali nasibnya tersebut. Ia justru bersyukur kepada Allah karena telah diberi kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang normal lainnya. Bagi Mita, kedua orang tuanya sangat berarti dalam perjalanan hidupnya. Disaat masih kecil teman sekolah sempat mencelanya. Namun, kedua orang tuanya selalu menenangkan hati Mita. Ia pun disarankan untuk selau berbesar hati. Selain itu, kedua orang tuanya juga sangat menyayangi semua anak-anak, tak terkecuali bagi anak-anak tuna rungu. Mita juga sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat peduli sekali dengan pendidikan anak-anaknya ”Kalau orang tua saya tidak peduli dengan pendidikan kami, mungkin saya tidak seperti sekarang,” jelas suami Irwan Ibrahim ini.
Sebagai tuna runggu, tentunya Mita sangat memahami betul kesulitan-kesulitan orang yang senasib denganya. Apalagi di keluarganya sendiri ada tiga orang yang tuna rungu. Terdorong ingin membantu teman-teman sensibnya itu pada tanggal 5 desember 2001 lalu, ia mendirikan Yayasan SEHJIRA (Sehat Jiwa Raga). Yayasan ini bergerak dalam pelatihan dan pendidikan khusus untuk tuna rungu. Selain mendirikan Yayasan SEHJIRA, Mita juga memiliki obsesi lain yang sangat besar yaitu mendirikan universitas khusus tuna rungu. Sebab di Indonesia, belum ada universitas khusus untuk tuna rungu. Dalam waktu dekat ini, rencanaya ia juga akan mengambil gelar doktor di Luar negeri. “Saya ingin mengambil gelar doktor,” ungkap Mita tanpa menjelaskan lebih lanjut. Doel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar