Selasa, 18 Desember 2007

Kebakaran

Di Tinggal Pulang Lebaran, Rumahnya Ludes di Lumat Api
  • Tiga Anak Ngapani Terancam Putus Sekolah

Tragedi demi tragedi sepertinya hanya akrab dengan orang kecil. Mulai dari penyakit, bayi aneh dan kemiskinan hanya menjadi bagian dari kehidupan orang tak berdaya. Dalam setahun, ribuan peristiwa kebakaran menimpa orang miskin. Dan, di saat Umat Muslim baru saja merayakan hari Idul Fitri, ratusan warga di Jln. Kapten Tendean, RT 05 RW 01 Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, harus bergelut melawan derita, karena rumah mereka hancur dilalap api. Bahkan di antara korban ada yang pada saat terjadi kebakaran tengah merayakan Lebaran di kampung halaman, dan ketika balik menemukan rumahnya yang sudah menjadi puing. Bagaimana kisah di antara korban kebakaran tersebut?

Lelaki paruh baya itu terlihat duduk tenang di atas karpet plastik. Tangannya sesekali digerakkan seirama dengan tutur katanya. Wajahnya kusam, karena sudah dua malam ini ia tidak sanggup memejamkan mata. Rambutnya begitu kusut, matanya terlihat dalam hingga raut wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Ngapani (42), nama lelaki itu. Sejak dua hari lalu, ayah tiga anak ini dipaksa mengungsi ke tempat penampungan karena rumahnya ludes terbakar, saat ia sedang merayakan Lebaran bersama keluarga di Kendal, Jawa Tengah. Akibat kebakaran itu, semua hartanya ludes dilalap jago merah.

Tak ada yang bisa dikatakan dari persitiwa itu, selain penyesalan. Andai saja saat itu Ngapani tidak mudik ke Kendal, mungkin sebagian dari barang-barang miliknya bisa diselamatkan. Tapi apa boleh buat, ia terpaksa mengurut dada setelah mengetahui rumahnya sudah tinggal puin-puing berserakan di tanah. Itu berarti tak satu pun barang-barang berharga miliknya yang bisa diselamatkan. Kejaidan ini membuat beban hidupnya semakin berat. Dalam kondisi normal saja, bebannya sudah sangat berat, apalagi ditambah dengan tragadi kebakaran itu. Bebannya terasa berlipa ganda.

Tanpa disadari, mata Ngapani menerawang jauh. Ia seakan meneropong masa depannya sendiri. Berbagai pertanyaan kemudian bergolak dalam pikirannya. Bagaimana dengan nasib anak-anaknya yang seharusnya sudah sekolah? Bagaimana nasib keluarganya yang membutuhkan biaya setiap hari? Dari mana Ngapani bisa memperoleh uang untuk menyewa rumah sebagai tempat berteduh keluarganya? Sejumlah pertanyaan terus menggerogoti pikirannya.

“Saya memang kehilangan segalanya. Tapi saya masih punya keluarga. Selama ini saya bekerja sebagai penjual ikan di Pasar Mampang. Pekerjaan itu akan saya teruskan untuk mencari uang. Saya hanya berharap, dari pekerjaan ini saya bisa memperoleh uang untuk bisa menghidupi keluarga dan biaya sekolah anak-anak saya,” harap Ngapani yang mengenakan baju kaos kutang dan celana abu-abu, seragam SMU milik anaknya itu.

Meski begitu, pria yang tidak tamat sekolah dasar di kampungnya ini mengaku usahanya tidak akan berjalan mulus. Karena masih banyak hal yang harus ia lakukan untuk bisa memulihkan kondisi ekonomi keluarganya. Itu sebabnya, Ngapani sangat membutuhkan uluran tangan para dermawan yang mau berbuat baik kepada orang-orang yang sedang dirundung malang seperti dirinya.

Yang sangat mendesak bagi Ngapani saat ini adalah bagaimana ia bisa menyewa rumah yang layak untuk keluarganya dan mendapatkan uang bagi biaya sekolah anak-anaknya. Dari hasil pekawinannya dengan Mulyati (36), pasangan ini dikarunai tiga orang anak. Anak sulngnya, Ari Setyawan, 15 tahun kini duduk di kelas 2 SMU di Mampang. Dua anak lainnya adalah Ety (15) kelas 2 SMP dan Chaerul (10) kelas 4 SD juga di Mampang. Namun, istri dan ketiga anaknya kini terpaksa tinggal lebih lama di rumah orang tuanya di Kendal. Sementara Ngapani harus rela tidur beralas karpet plastik di tempat penampungan sementara, ruang kelas TK Budi Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Rumah miliknya yang terbakar, dibangun di atas tanah kontrakkan. Semua barang miliknya dalam rumah semi permanen itu ludes. Seperti lemari pakaian, TV, tape recorder dan alat rumah tangga lain, semuanya hangus. Saat persitiwa itu terjadi, Ngapani sedang mudik ke kampung halamannya di Kendal. Kini, Ngapani sudah memutuskan untuk menghentikan sementara sekolah ketiga anaknya. Karena ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Nanti setelah ia mendapatkan uang, baru ia bisa menjemput istri dan anak-anaknya.

Ditelepon Tetangga. Bagi Ngapani, kejadian yang menimpa rumahnya seperti mimpi. Ia tidak menyangka bakal terjadi musibah kebakaran. Pertama kali ia mengetahui persitiwa kebakaran setelah ditelepon salah seorang tetangganya. Awalnya, Ngapani tidak percaya. “Masa sih, rumah bisa terbakar siang bolong?” batin lelaki yang mengaku tidak lulus SD ini.

Untuk memastikan berita itu, Ngapani menunggu sampai sore hari lewat tayangan televisi. Ia sangat terkejut setelah mengetahui bahwa informasi yang diberikan tetanggnya ternyata benar. “Saya langsung shock melihat rumah saya habis terbakar,” ceritanya dengan nada terbata-bata. Sore itu juga, setelah berpamitan dengan orang tua, Ngapani langsung berrangkat sendirian ke Jakarta untuk melihat kondisi rumahnya. “Selama dalam perjalanan, saya berharap harap ada orang yang bisa menyelamatkan barang-barang milik saya. Tapi ternyata harapan itu sirna setelah melihat kondisi riil di tempat kejadian. Hampir semua korban kebakaran tidak sempat menyelamatkan barang-barang miliknya. Bagaimana mungkin mereka sempat menyelamtkan barang orang lain?” kata Ngapani sambil berlinang air mata.

Kini, Ngapani harus tidur beralaskan karpet tanpa bantal dan selimut. Karena tempat pengungsian sangat sempit, maka setiap kali mau tidur ia harus berdesak-desakan bersama warga lainnya. Tinggal di pengungsian adalah sesuatu yang sangat tidak ia harapkan. Padahal tidak banyak uang yang dibawa Ngapani ketika harus balik ke Jakarta. Karena uangnya sudah habis dibelanjakan untuk keperluan Lebaran. Seperti membeli baju untuk anak-anak dan ongkos mudik ke kampung halaman. Untungnya, saat musibah itu terjadi, banyak orang atau lembaga yang memberikan bantuan keperluan sehari-hari, sehingga kesedihan dan beban warga sedikit tertolong.

Terancam Putus Sekolah. Selain musibah kebakaran, hal lain yang membuat Ngapani sedih adalah ia tidak bisa membawa keluarganya balik ke Jakarta. Padahal ketiga anaknya sudah harus mulai masuk sekolah. “Mungkin saya harus menunda dulu sekolah anak-anak sampai saya bisa mengumpulkan uang guna membelikan buku dan baju seragam baru buat mereka,” keluhnya sambil menatap bangunan rumahnya yang hangus terbakar. Tanpa disadari, pria yang selalu mengenakan tas pinggang ini menitikan air mata. Ngapani kemudian mengutarakan keinginannya sebagai kepala keluarga. Ia sangat ingin anak-anaknya bisa masuk sekolah lagi. Tapi bagimana mungkin anak-anak bisa sekolah kalau semua buku dan seragam sekolahnya hangus terbakar?

Profesi Ngapani sebagai penjual ikan di Pasar Mampang Prapatan memang tidak bisa menghasilkan banyak uang dalam sekejap. Itu sebabnya, untuk menunjang ekonomi keluarga, istrinya membukat kue untuk dijual di pasar. Sebagai buruh, penghasilan Ngapani tidak seberapa. Jadi, untuk membangun rumahnya kembali atau mencari kontrakan baru, ia harus menunggu hingga berbulan-bulan untuk mengumpulkan uang. Sekarang kondisi Ngapani sangat memperihatikan. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi selain baju yang menempel di badannya. Harta yang ia kumpulkan dengan susah payah selama kurang lebih 26 tahun tinggal di Jakarta, semuanya hangus terbakar.

Baginya, targedi ini adalah musibah terberat yang harus ia jalani. Beban itu terlukis dari raut wajah dan pakaiannya yang terlihat kusam. Tak banyak yang bisa diharapkan oleh para korban kebakaran, kecuali agar mereka bisa menghuni kembali rumah yang sekarang telah menjadi puing-puing. Demikian juga halnya dengan Ngapani sekeluarga, ia sangat berharap pemerintah mau membantu mendirikan kembali bangunan rumahnya yang hangus terbakar.

Peristiwa kebakaran itu terjadi pada hari Jumat (27/10) pukul 14.00 WIB di saat warga sedang beristirahat sehabis menjalankan ibadah shalat Jumat. Musibah itu berawal ketika salah seorang warga yang bernama Latif sedang memasak daging sepulang dari pasar. Entah apa pemicunya, tiba-tiba kompornya meledak. Malapetaka itu mengagetan penduduk. Masyarakat berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan barang-barang yang dianggap penting sambil meminta pertolongan dari warga sekitar. Tapi kobaran api begitu besar karena sebagian besar bangunan terbuat dari bahan gampang terbakar, seperti bambu dan tripleks, warga tidak bisa berbuat apa-apa.

Sekitar satu jam kemudian, baru tiba delapan unit mobil pemadam kebakaran untuk menjinkan api. Setelah dua jam bertarung dengan api, barulah pasukan pemadam kebakaran mampu menjinakkan si jago merah. Dalam musibah Jumat kelabu memang tidak ada korban jiwa. Namun kerugian diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Sedikitnya 46 rumah ludes terbakar dan 144 jiwa hidup dalam pengungsian. Setelah beberapa hari dalam pengungsian, warga Jln. Kapten Tendean, RT 05 RW 01 Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tampak mulai membersihkan puing-puing rumahnya sambil mencari-cari barang yang masih bisa untuk diamankan. Hingga saat ini, para korban kebakaran masih dibantu oleh dapur umum yang dikerjakan oleh para relawan dari Palang Merah Indonesia (PMI). Doel

Side Bar I

Mochamad Tohir (Ketua RW 1)

Latif Sudah Tiga Kali Mencoba Bakar Rumah

“Seandainya Latif tidak mabuk, mungkin peristiwa kebakaran ini tidak perlu terjadi,” kata pertama yang diungkapkan Mochamad Tohir, Ketua RW 01, Mampang Prapatan Jakarta Selatan yang baru menjabat tujuh bulan. Sebenarnya, bukan baru sekarang ini Latif memicu peristiwa pembakaran. Sudah sejak lama, kalau sedang mabuk, Latif selalu mengancam akan membakar rumah. Peristiwa ini merupakan kasus ketiga. Pada kasus pertama, ia pernah membakar kasur di kamarnya karena alasan yang tidak jelas.

Untungnya, kasus ini segera diketahui warga sehingga api yang sudah mulai membesar, segera dipadamkan warga. Kasus kedua, ia juga pernah membakar kertas di dalam rumahnya. Kejadian itu hampir saja membakar rumahnya, namun hal itu segera diketahui warga sehingga api segera dihentikan. Sedangkan kasus ketiga, entah karena disengaja atau tidak, Latif membakar rumanhya sehingga api merambat ke rumah tetangganya. Kali ini warga tidak bisa membantu memadamkan api karena umumnya tetangga sedang mudik Lebaran.

Dalam pengakuannya di kantor Polsek Mampang, Latif mengatakan bahwa persitiwa kebakaran itu disebabkan bukan karena kompor yang melesak, tapi hubungan arus pendek dari kipas angin yang lupa dimatikan. Sebetulnya, Latif bukan pemilik rumah yang ia tempati sekarang. Ia hanya menumpang di rumah Selamet, kakak iparnya. Waktu peristiwa itu terjadi, Selamet tidak ada di rumah karena sedang bekerja.

Menurut Mochamad Tohir, warga sudah sangat kesal dengan tingkahlaku Latif. Ia sering meminta minta uang dari para pedagang di Pasar Mampang untuk mabuk-mabukan. Kalau saja pada peristiwa kebakaran itu, Latif tidak segera diamankan polisi, mungkin ia sudah dilempar warga ke dalam rumah yang sedang terbakar. Namun sebagi ketua RW, Mochamad Tohir berharap peristiwa ini tidak terulang lagi. Baik di lingkungannya, maupun di tempat lain. Karena persitiwa seperti ini menelan banyak kerugian. Enrah itu kerugian material maupun kerugian psikis. Apalagi dalam kondisi sekarang, sangat sulit mencari kerja. Doel

Side Bar...2

Ustadz Muslim Bakri :

“Semua harta adalah titipan Allah”

Dalam pandangan Ustadz Muslim Bakri, peristiwa kebakaran yang terjadi di Mampang Prapatan itu merupakan salah satu bentuk ujian dari Allah SWT. Apakah masyarakat siap menghadapi ujian tersebut ataukah tidak, terutama setelah melewati sebulan berpuasa. Menurutnya, jika korban bisa melewati peristiwa tersebut dengan hati yang ikhlas dan menganggapnya ujian bukan sebagai musibah, maka kualitas ketakwaan seoarang hamba Allah akan bertambah menjadi lebih besar.

Salah satu tujuan ibadah puasa adalah untuk memperoleh ketakwaan. Realisasi dari ketakwaan tersebut sebagimana yang tersirat dari surat Al-Imran ayat 133 ada tiga. Pertama, orang akan meng-infaq-an hartanya baik dalam keadaan sulit maupun dalam keondisi berkelimpahan. Kedua, akan menjadi orang yang tabah ketika mendapat musibah. Ketiga, menjadi lapang dada sehingga bersedia memaafkan kesalahan sesama.

Menurut Ustadz Muslim Bakri, ketika orang mendapatkan musibah, ia harus sadar dan yakin bahwa cobaan itu datangnnya dari Allah. Dan yang pasti, Allah mempunyai rencana dan maksud sendiri terhadap musibah tersebut. Jadi, jangan sekali-kali kita mempunyai persangka yang jelek terhadap Allah SWT. Seolah-olah Allah tidak tahu yang terbaik bagi umatnya. Selain itu, sebagai orang beriman, sikap yang harus mereka tunjukkan dalam menghadapi musibah kebakaran tersebut adalah selalu sabar. Karena kesabaran bisa mendorong mereka untuk bisa ikhlas. Karena harta yang mereka miliki saat ini, pada hakikatnya adalah titipan Allah yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh pemiliknya. Dan, kita tidak tahu bagaimana cara mengambilnya. Bisa jadi lewat kebakaran atau dengan cara lainnya. Sedangkan, kalau mendapat nikmat, mereka harus bersyukur. Karena dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat yang diperoleh.

Sebagaimana pesan Rosulullah SAW sehabis memperoleh kemenangan pada Perang Badar. Dalam sejarah Islam, Perang Badar merupakan perang terbesar pada masa Rosulullah. Tapi apa kata Rosulullah sesudah perang tersebut, bahwa ada perang yang lebih besar lagi yang akan dihadapi oleh kaum Muslim, yaitu perang melawan hawa napsu. Peringatan Rosulullah SAW tersebut seharusnya dijadikan pelajaran bagi para korban kebakaran di Mampang. Setelah sebulan berpuasa, akhirnya umat Muslim mendapatkan kemenangan. Tapi disaat kemenangan itu diperoleh, disusul dengan ujian baru, yakni persitiwa kebakaran. Kalau korban belum bisa menerima musibah kebakaran yang menimpanya, berarti mereka masih dikuasai hawa napsu yang selalu mencintai kenikmatan dunia. Doel

Tidak ada komentar: