Rabu, 09 April 2008

Ustadz Arifin Mohamad Amien, Pembina Yayasan Nurul Alam

Ustadz Arifin Mohamad Amien, Pembina Yayasan Nurul Alam

Rela Tinggal di Masjid Bersama para Pasien Pecandu Narkoba dan Stres

Selama ini banyak stigma negatif terhadap para pecandu narkoba dan orang-orang stres. Mereka pun sering diasingkan dan terbuang dari keluarganya. Melalui Yayasan Nurul Alam, Ustadz Arifin (32) menampung orang-orang terbuang itu. Setiap hari, meski tidak dibayar, dengan penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah, ia merawat serta membimbing para korban narkoba dan orang-orang stres. Apa yang mendasarinya?

Di sebuah Masjid di kawasan Bekasi, terlihat segerombol pria dengan rambut acak-acakan duduk di pojok Masjid. Pakaian mereka pun terlihat sangat lusuh. Sesekali mereka tertawa dan menangis. Orang-orang itu memandang dengan tatapan mata kosong. Mereka adalah para korban narkoba dan orang-orang sakit jiwa yang sedang menjalani proses rehabilitasi di Masjid tersebut. Sementara di sisi lain ada juga beberapa pria yang asyik berdzikir dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Tempat rehabilitasi itu menempati ruangan Masjid yang sangat sederhana. Masjid yang bernama Nurul Hidayah itu oleh masyarakat di sekitarnya disebut dengan nama Masjid Buntung. Terletak berada jauh dari pusat keramaian kota, tepatnya di ujung Rawa Ceper, Desa Sukasari, Kecamatan Serang Baru, Bekasi. Untuk bisa sampai di lokasi tersebut kita harus melewati jalan setapak dan bebatuan, yang kanan-kiri jalan masih dipenuhi dengan pepohonan besar nan rindang. “Kami memilih tempat ini karena masih sejuk dan asri agar para pasien bisa berkonsentrasi dan tidak terganggu,” jelas Ustadz Arifin, Pembina Yayasan Nurul Alam membuka obrolan kepada Realita pada Selasa sore (5/2) di belakang Masjid.

Rehabilitasi Cuma-Cuma. Latar belakang berdirinya Yayasan Nurul Alam, menurut Ustadz Arifin, berangkat dari motivasi ingin turut berdakwah dalam menyiarkan agama Islam. Dan, pilihan dakwahnya jatuh melalui rehabilitasi para korban narkoba dan orang-orang stres. Sebab menurutnya, dakwah tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang waras saja, tetapi dakwah juga bisa dilakukan dengan cara menangani orang-orang yang mengalami gangguan jiwa.

Selain itu, tambah Ustadz Arifin, tidak semuanya para pecandu narkoba dan orang-orang stres berasal dari kalangan ekonomi atas. “Kebanyakan tempat-tempat rehabilitasi narkoba dan orang-orang stres, biayanya mahal sehingga hanya bisa dijangkau oleh orang-orang kaya saja. Lalu akan di bawa ke mana kalau ada orang miskin yang pecandu narkoba dan orang stres,” tanyanya.

Berangkat dari fenomena seperti itulah, pada tahun 1992, Ustadz Ridwan Syaifullah (60), mendirikan Yayasan Nurul Alam yang khusus menangani pecandu narkoba dan orang-orang sakit jiwa dari golongan ekonomi kelas bawah. Sebelum berada di desa Ceper Kredok, tempat rehabilitasi Yayasan Nurul Alam berada di daerah Pedongkelan, Cempaka Putih, Jakarta Utara. Pada tahun 2006, saat ada pembuatan jembatan layang, tempat rehabilitasinya tergusur. Berkat bantuan temannya, H. Mahmud Soekya, akhirnya Ustadz Ridwan meneruskan misi mulianya ini ke desa Ceper Kredok yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kota.

Pria kelahiran Bima 10 Juni 1976 ini, menangani para pecandu narkoba dan orang-orang stres pada awalnya karena diminta oleh pamannya, Ustadz Ridwan, selaku pendiri yayasan Nurul Alam. Setelah menamatkan pendidikan SMU-nya di Bima pada tahun 1994, Ustadz Arifin hijrah ke Jakarta untuk berguru kepada pamannya. Selama berguru ia tidak hanya belajar ilmu agama melainkan juga belajar ilmu pengobatan dan sesekali membantu pamannya menangani para pasien.

Karena Ustadz Ridwan sudah sepuh dan perlu regenerasi. Akhirnya, karena dipandang Ustadz Arifin sudah memenuhi syarat, akhirnya sang paman mengamanatkannya untuk meneruskan misinya itu. Namun sebelum diterjunkan dalam misinya itu ia terlebih dahulu diprogram untuk memantapkan ilmunya. Ustadz Arifin pun dikirim oleh Ustadz Ridwan pada tahun 2006 ke kota Surabaya, Jawa Timur, ke Masjid Sunan Giri selama enam bulan untuk itikaf (berdiam diri dalam masjid).

Awalnya saya sempat bingung karena waktu berangkat hanya dibekali uang Rp 50 ribu, tapi Ustadz Ridwan meyakinkan saya bahwa Allah akan menjamin hidup saya selama itikaf, akhirnya dengan modal uang Rp 50 ribu dan keyakinan itulah saya beranikan diri berangkat ke Surabaya,” ungkapnya.

Selama berada di Masjid Sunan Giri, anak pertama dari empat bersaudara pasangan Mohamad Amien (50) dan Aisiyah (40) ini, setiap hari waktunya dihabiskan untuk belajar agama dan mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat dan berdzikir. Setiap enam hari sekali ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Selama enam bulan ia melakukan puasa tanpa putus. Anehnya, saat berbuka ia selalu mendapatkan makanan dari seseorang yang tidak pernah kenal sebelumnya. Sedangkan ketika sahur, ia hanya minum air putih saja. “Mungkin karena niat saya ikhlas beribadah, jadi Allah mengirim saya makanan lewat orang lain,” paparnya.

Selama ber-itikaf di Masjid Sunan Giri, kejadian aneh yang tidak pernah ia lupakan adalah di bulan Ramadhan, tepatnya pada malam ke 25. Saat sedang asyik berdzikir, tiba-tiba saja dalam keheningan malam, ada yang membisiki tentang dunia pengobatan. “Saya tidak tahu siapa yang membisiki, namun suara itu begitu jelas terdengar di telinga,” kisahnya.

Ustadz Arifin mengaku selama menjalankan itikaf banyak sekali godaan-godaan yang menghampirinya setiap malam, namun berkat ketekunannya beribadah, semua godaan itu dapat dilaluinya dengan mudah. Selama ber-itikaf ia banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman-pengalaman baru, salah satunya adalah ilmu tentang pengobatan yang ia tidak terima dari Ustadz Ridwan. Setelah enam bulan itikaf ia pun kembali ke Jakarta dan langsung membimbing orang-orang pecandu narkoba dan orang-orang stres.

Cara Pengobatan. Dalam mengobati para pasiennya, metode yang digunakan terbilang cukup unik. Sebab, Ustadz Arifin tidak menggunakan ilmu-ilmu kedokteran, melainkan hanya menggunakan terapi spiritual. Ustadz Arifin beralasan, bahwa cara spiritual dipakai karena dalam diri pecandu narkoba dan orang-orang stres terdapat jin-jin sehingga untuk menyembuhkannya harus diterapi dengan diajak beribadah agar selalu mengingat kepada Allah.

Selama dalam karantina, para pasien harus melewati beberapa tahapan pengobatan. Seperti setiap pukul 02.00 WIB dini hari, para pasien dimandikan oleh Ustadz Arifin sambil dibacakan doa-doa. Gunanya untuk mengusir jin-jin dan menyegarkan fisik dan pikiran mereka. Khusus untuk para pecandu narkoba, sebelum dimandikan, mereka harus meminum segelas air garam sampai muntah, agar racun dan kotoran dalam perutnya bisa keluar. Setelah itu para pasien diajak shalat malam dan mengaji sampai menjelang adzan shubuh. Pagi harinya setelah olah raga bersama mereka dibimbing beramal shaleh yaitu kerja bakti membersihkan Masjid dan lingkungan tempat tinggal mereka.

Meski para pasiennya kebanyakan adalah orang-orang stres, namun anehnya ketika dimandikan tengah malam, tidak ada yang menolak ataupun melawan. Menurut Ustadz Arifin, segalak apa pun orangnya, ketika sampai di tempatnya (Masjidnya) langsung jinak. Biasanya para pasien yang belum jinak, tempatnya di pisah dengan para pasien yang sudah jinak. Yang belum jinak akan ditempatkan di belakang Masjid untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Biasanya kalau pasien baru dan galak, kaki kirinya akan dirantai terlebih dahulu untuk menjinakkan. Paling lama dirantai satu minggu,” ujar Ustadz berjenggot ini.

Selain diterapi, selama di karantina, para pasien juga mendapatkan pendidikan agama setiap habis shalat. Ustadz Arifin akan memberikan pelajaran-pelajaran agama. Sehingga nantinya ketika sembuh, para pasien punya bekal saat kembali lagi ke tengah-tengah keluarganya. Selain itu, setiap pasien juga diharapkan bisa menularkan pendidikan agama yang telah diterimanya kepada yang lain. Bukan hanya ilmu agama saja yang diberikan, para pasien juga diajarkan ilmu-ilmu yang lain seperti bercocok tanam dan lain sebagainya.

Selama ini dalam mengurusi para pasiennya, Ustadz Arifin hanya melakukannya seorang diri. Namun terkadang ia juga dibantu oleh salah satu rekannya, Ikwan Kafi. Adapun Ustadz Ridwan, sang pendiri, karena tinggal di Jakarta, sejak tempat rehabilitasinya itu dipindahkan ke Bekasi, ia menyerahkan semuanya kepada Ustadz Arifin. Ustadz Ridwan hanya datang sesekali saja, itu pun sekadar untuk mengontrol perkembangan dari para pasien.

Banyak yang Sembuh. Meski metode penyembuhannya terbilang sangat sederhana, namun sudah banyak pasien yang telah sembuh setelah diterapi di Masjid Nurul Alam. Baik para pecandu narkoba maupun orang-orang yang stres. Untuk para pecandu narkoba biasanya bisa sembuh dalam jangka waktu 1 bulan. Sedangkan khusus untuk orang-orang stres, proses penyembuhannya agak lama. Ada yang dua bulan dan ada juga yang sampai satu tahun. “Kalau sebelum masuk di sini sudah lama sakit, biasanya proses penyembuhannya akan lama. Tapi kalau baru sakit dan langsung dibawa ke sini biasanya cepat sembuhnya,” bebernya.

Menurut pria yang selalu senyum ini, pasiennya bukan hanya berasal dari kota Bekasi dan Jakarta saja, tetapi ada juga yang berasal dari luar kota seperti Kalimantan dan Sumatera. Ada yang datang secara resmi seperti diantar keluarganya dan setiap bulan mengirim uang untuk biaya makan dan pengobatan. Namun ada juga pasien yang sengaja dibawa oleh seseorang tanpa diketahui identitasnya. “Seperti orang hilang atau terbuang,” tutur Ustadz Arifin. “Biasanya orang seperti ini karena keluarganya sudah capai dan tidak sanggup lagi mengurusi,” tambahnya. Saat ini jumlah pasien yang berada di bawah asuhan Ustadz Arifin berjumlah 26 orang dan dari berbagai lapisan usia mulai dari umur 25 tahun sampai usia lanjut.

Adapun untuk biaya operasionalnya, karena tidak ada donatur tetap yang membantu operasional kegiatan Yayasan, biayanya diambil dari sumbangan sukarela para orang tua pasien. “Ada yang menyumbang Rp 200 ribu, ada juga yang Rp 300 ribu. Sebab pihak Yayasan Nurul Alam tidak mematok biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya kepada pasien. Dan untuk kekurangan biayanya, biasanya diperoleh dari sumbanga teman-teman Ustadz Ridwan yang masih peduli dengan kegiatan Yayasan. Bahkan kadang juga menerima sumbangan dari mantan-mantan pasiennya yang sudah sembuh dan bekerja. “Banyak sekali para mantan pasien yang menyumbang ke Yayasan. Mungkin mereka merasa tertolong sehingga sering memberi bantuan meski jumlahnya tidak besar tetapi lumayan buat menambah-nambah kekurangan,” ucap Ustadz yang masih lajang ini bersyukur.

Karena keterbatasan dan minimnya dana itulah, pihak Yayasan tidak bisa membangun tempat untuk tidur pasien. Selama ini pasien tidur di dalam Masjid yang berukuran 7 x 9 meter persegi dengan beralaskan karpet yang sudah mulai lusuh. Padahal kondisi Masjid itu sebenarnya sudah tidak layak lagi untuk dipakai karena sejak didirikan pada tahun 1989 tidak pernah direnovasi lagi sehingga atapnya sudah banyak yang bocor. Apalagi kalau turun hujan, airnya sering membanjiri Masjid. Begitu juga temboknya, banyak yang sudah mulai rapuh. Bahkan tempat MCK terlihat sangat kumuh.

Meski menangani para pasien dengan kondisi yang penuh dengan keperihatinan, namun tidak menyurutkan langkah kepedulian Ustadz Arifin dalam menyembuhkan para korban narkoba dan orang-orang stres. Baginya, apa yang ia lakukan selama ini semata-mata hanyalah dalam rangka dakwah untuk mengharapkan ridha Allah. ”Banyak cara untuk ibadah, kebetulan ibadah yang saya lakukan melalui cara seperti ini,” tegas Ustadz yang tinggal dan tidur bersama para pasiennya ini. Doel

Side bar I

Neni, Istri Ustadz Ridwan, Pendiri Yayasan Nurul Alam

Rela Tinggal di Samping Masjid Demi Mengurusi Para Pasien

Selain Ustadz Arifin, orang yang sangat berperan dalam penyembuhan para pasien adalah Ibu Neni. Sebab, ia adalah satu-satunya perempuan yang berada dalam Masjid itu. Sehari-harinya ibu berumur 44 tahun ini bertugas mengurusi masalah dapur. “Saya diminta bapak (Ustadz Ridwan, red) untuk membantu menyediakan makanan para pasien. Sebab saat ini saya sudah tidak lagi mengurusi anak-anak saya karena mereka sudah pada besar-besar,” ujarnya. Para pasien mendapatkan jatah makan sehari dua kali yaitu pagi jam delapan dan malam sehabis shalat Isya dengan lauk pauk tahu tempe.

Dalam sebulan, menurut ibu enam anak ini, bisa menghabiskan beras 4-5 kwintal dan untuk lauk pauk sendiri sehari bisa habis seratus ribu. Belum lagi keperluan gula, teh, sabun, dan lain-lain. “Sebenarnya saya kasihan memberi lauk pauk setiap hari hanya tahu tempe. Tapi kemampuan dananya hanya kuat untuk membeli lauk itu saja,” ungkapnya. Untuk menambah gizi para pasiennya, biasanya setiap sebulan sekali ia membuatkan bubur kacang ijo.

Menurutnya, selama mengurusi anak-anak (pasien-pasien, red) ia tidak pernah pulang. Ibu Neni sendiri tinggal di sebuah kamar khusus yang kecil di samping kanan Masjid. Ia hanya pulang ke rumahnya di Jakarta ketika ada kepentingan keluarga saja seperti menghadiri acara pernikahan dan lain-lain. Itu pun hanya beberapa jam saja. Meski jarang pulang ke rumah, ia mengaku tidak pernah jenuh maupun bosan dalam mengurusi makanan para pasien. “Semua pasien yang ada di sini sudah saya anggap sebagai anak-anak saya sendiri. Jadi, apa yang saya lakukan tidak pernah sebagai beban,” ujarnya. Doel

Side Bare II

Bayu Al-Ersyad, Pasien

Stres karena Sang Ayah Akan Menikah Lagi

Di antara para pasien yang tinggal di Masjid Nurul Alam, Bayu El-Ersyad atau yang biasa dipanggil Bayu ini merupakan pasien yang paling baru dan muda. Ia masuk pada tanggal 7 Januari 2008. Bayu mengaku tidak tahu kalau dirinya akan dibawa ke tempat rehabilitasi yang berada di Desa Sukasari tersebut. “Saya ke sini yang bawa bapak. Katanya akan dibawa ke tempat saudara, tapi ternyata dibohongi, saya malah dibawa ke sini,” ungkap Pria kelahiran Sunter, 22 Juli 1987 ini.

Anak pertama dari dua bersudara ini mengaku dibawa ke tempat rehabilitasi karena stres. Ia tidak terima jika ayahnya menikah lagi karena ia sangat sayang dan kasihan pada ibunya yang harus dimadu. Bayu melampiaskannya dengan cara mabuk-mabukan dan berjudi hingga akhirnya stres berat sampai-sampai ayahnya akan dibunuh. Karena takut Bayu bertambah parah, ia pun dibawa ke tempat rehabilitasi tersebut.

Menurut Ustadz Arifin, kondisi Bayu pada saat masuk sangat galak dan sering berkelahi dengan teman-temannya. Karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan, akhirnya kaki bayu dirantai selama dua minggu. Setiap malam ia juga dimandikan sebagaimana pasien yang lain. Dua minggu kemudian setalah menjalani proses pengobatan, kondisinya sudah mulai membaik. Rantai dikakinya sudah mulai dilepaskan dan kini ia sudah mulai sembuh dan bisa bersosialisasi dengan teman-temannya yang lain di Masjid Nurul Alam. “Alhamdulillah saya sekarang sudah tidak stres lagi dan rencananya saya akan pulang ke rumah awal bulan Maret nanti,” ucapnya penuh syukur. Doel


Masniari Siregar, Ibunda Empat Anak Tuna Rungu

Masniari Siregar, Ibunda Empat Anak Tuna Rungu

Mengubah Keterbatasan Keempat Anaknya Menjadi Kesuksesan Melalui Kasih Sayang dan Doa

Memiliki anak tuna rungu bagi sebagian orang merupakan kekurangan yang harus ditutupi. Tapi berbeda halnya dengan Masniari. Ia justru lebih terdorong untuk mendidik dan memotivasi empat anaknya yang menderita tuna rungu untuk menggapai kesuksesan. Tekad itu pun berhasil berkat kerja keras yang dilakukannya bersama sang suami, Irwan Ibrahim. Bahkan salah satu diantaranya mampu meraih gelar S2 dengan keterbatasan yang dimilikinya. Bagaimana kisah sebenarnya?

Kamis (08/04) Sore, Realita menyambangi kediaman Masniari Siregar, seorang ibu yang memiliki empat orang anak menderita tuna rungu. Rumah Masniari Siregar terletak di perumahan Departeman Keuangan Karang Tengah, Tangerang, Banten. Rumahnya tak begitu besar, tapi nampak asri dengan beberapa pohon yang tertanam persis di depan bangunan rumah tersebut.

Sambutan hangat dari Masniari menyapa kedatangan Realita. Dengan penuh keramahan dan senyum khas, Masniari Siregar langsung mengajak Realita masuk ke dalam ruang tamu untuk berbagi cerita mengenai perjuangannya mengasuh dan mendidik anak-anaknya hingga meraih kesuksesan. Sambil duduk di atas sofa berwarna cokelat, Masniari pun mulai membuka obrolan dengan suasana yang cukup santai.

Wanita yang kerap disapa Masriani ini mengaku, bahwa memiliki anak adalah suatu anugerah tersendiri. Menurutnya, masih banyak perempuan yang sudah menikah bertahun-tahun namun tidak diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki anak. “Saya bersyukur bisa mempunyai anak,” ujarnya. Sejak menikah pada tahun 1942 dengan belahan jiwanya, Ali Panangaran Harahap (72) ia telah dikarunia 6 orang anak, yakni Barli Hakim harahap (43), Raja Muddin (42) Erwin Syarifuddin (40), Rachmita Maun (39), Linda Noura (37) dan Ade Nur Ima (35). Namun dari keenam anaknya hanya Raja Muddin dan Linda Noura yang normal. “Anak lainnya tuna rungu,” ungkapnya. Saat menikah, Masniari mengaku masih sangat muda yaitu berumur berumur 18 tahun sedangkan harahap berumur 28 tahun. Meski terpaut umur 10 tahun, hal tersebut tak membuat Masniari malu, “Cintalah yang menyakinkan saya untuk menikahinya,” cerita Masniari.

Mensyukuri Kekurangan Empat Anaknya. Meski mempunyai anak tuna rungu, Masniari tidak pernah menyesal telah melahirkan anak-anak tersebut. Baginya, anak adalah amanah yang harus dijaga meski memiliki kekurangan. Masniari juga tidak malu dan sakit hati ketika beberapa tetangga yang terkadang mencibirnya karena ia memiliki anak tunga rungu. “Kalau saya malu lalu bagimana dengan anak-anak saya, pasti mereka lebih tidak mempunyai kepercayaan diri lagi,” jelasnya. Masniari pun selalu membesarkan rasa kepercayaan diri anak-anaknya. Varanya adalah dengan mengatakan bahwa mereka anak yang normal seperti anak yang lain hanya saja kurang pendengaran dan susah untuk berbicara. “Saya selalu mengatakan demikian ketika anak-anak menanyakan kondisinya,” ujar Masniari. Sebagai seorang ibu yang memiliki empat orang tuna rungu tentunya membuat Masniari harus mendidik dengan ekstra keras. Pasalnya, kalau mereka dibiarkan, perkembangan anaknya tentu akan lambat. “Saya berbagi peran dengan suami, saya menjaga anak dan suami mencari uang,” terangnya. Suaminya sendiri bekerja di Departemen Keuangan.

Hampir setiap hari, Masniari selalu mendampingi keempat anaknya baik di sekolah maupun di rumah “Habis anak pulang sekolah, saya hampir tidak pernah keluar rumah untuk main ke tetangga. Waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk menjaga anak-anak,” terangnya lagi. Kalau pun Masniari mau keluar biasanya ia pergi bersama suami dan anak-anaknya. Rutinitas kegiatannya tersebut diakui Masniari merupakan ungkapan kasih sayang dari dirinya dan suami. Melalui kasih sayang itulah, ia berharap perkembangan semua anak-anaknya mampu menampakkan keberhasilan di kemudian hari.

Masniari mengaku dalam mendidik anak-anaknya tidak pernah membeda-bedakan antara tuna rungu dan yang normal. “Bagi saya, semua anak sama saja. Jadi saya tidak pernah membeda-bedakan apalagi menganak-emaskan salah satu anak,” paparnya dengan logat batak yang sangat kental. Salah satu didikan yang ia terapkan kepada anak-anak adalah selalu displin dan bertanggung jawab terhadap berbagai macam tindakan yang dilakukan. Sejak kecil semua anak-anak sudah dibiasakan untuk bangun pagi dan sholat shubuh bersama. Setelah itu, mereka diharuskan untuk membersihkan dan merapikan tempat tidurnya masing-masing. “Yang paling bersih merapikan tempat tidur adalah Barli Hakim Harahap anak pertama,” kenangnya.

Budaya disiplin sengaja diterapkan oleh Masniari sejak dini, sebab menurutnya dengan menciptakan budaya disiplin sejak kecil maka akan membentuk karakter anak untuk bertanggung jawab dan mandiri ketika nanti dewasa.”Tidak selamanya saya hidup dengan anak-anak karena suatu saat anak-anak pasti akan hidup sendiri-sendiri dan berpisah dengan saya,” jelas Masniari. Selain itu, Masniari juga berharap kelak anak-anaknya tidak bergantung dengan orang lain karena memiliki kelemahan dalam pendengaran dan pengucapan.

Doa dan Kasih Sayang. Meski setiap hari Masniari selalu mendampingi anak-anaknya bukan berarti semua aktifitas dan kreatifitas anak-anaknya dibatasi. ”Saya tidak mengekang keinginan anak-anak, semua anak-anak saya bebaskan untuk menentukan jalannya masing-masing, karena mereka yang akan menjalani hidup”jelasnya. Seperti saat Rachmita Maun atau yang biasa disapa Mita ingin mengenyam pendidikan dasar di sekolah umum. Sebelumnya, Mita memang mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, ia kemudian memiliki keinginan untuk merasakan pendidikan di sekolah umum. Karena terus menerus merengek untuk bersekolah di sekolah umum, akhirnya keinginan Mita dikabulkan oleh Masniari. ”Kebetulan saya punya kenalan kepala sekolah jadi saya bisa memasukkan Mita di sekolah normal,” ujar nenek enam cucu ini. Mita sendiri mengaku ingin pindah karena merasa mampu untuk mengikuti pelajaran di sekolah umum. Setelah Mita masuk di sekolah umum, sang adik, Linda yang juga tuna runggu masuk di sekolah normal karena memiliki keinginan yang sama dengan Mita. Sedangkan dua kakaknya justru tidak mau masuk di sekolah normal. Meski tuna runggu, baik Mita maupun Linda bisa mengikuti pelajaran. Bahkan Mita selalu masuk dalam ranking sepuluh besar di kelasnya.

Selain mengajarkan budaya demokratis di tengah-tengah keluarga. Masniari juga sangat menekankan pendidikan kepada anak-anakanya, hampir semua anak-anaknya mengenyam bangku kuliah, kecuali Barli Hakim Harahap dan Erwin Syarifudin. Pasalnya, kedua kakak beradik tersebut tidak bersekolah di sekolah normal. Prestasi yang paling mengejutkan adalah Mita, anak keempatnya yang mampu melanjutkan pendidikannya hingga S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengambil Jurusan Interior.

Hampir semua anak-anak Masniari mengalami kesuksesan, dalam menjalani hidup, baik yang tuna rungu maupun yang normal. Salah satu contohnya adalah Barli yang bekerja sebagai pengusaha kebun karet. Rajamudin, sebagai supervisor di sebuah perusahaan bernama PT. Eka Timur Raya di kota Malang, Jawa Timur. Erwin berprogesi sebagai staff marketing di salah satu perusahaan pelayaran. Sedangkan Mita, menekuni karir sebagai dosen sekaligus disain Interior serta Linda bekerja di perusahaan asuransi PT. Bina Griya Upakara. Yang terakhir, Ade bekerja sebagai wiraswasta dan memiliki usaha sendiri yang cukup menguntungkan. Kesuksesan yang diraih anak-anaknya tersebut tak lain dan tak bukan selain usaha anak-anaknya yang gigih untuk belajar, juga disertai doa yang tak pernah berhenti dipanjatkan dari ibunya. Tak hanya itu saja, didikan sang ibu yang mengajarkan kemandirian bagi anak-anaknya, meski sebagian diantaranya adalah tuna rungu. “Hampir setiap siang dan malam saya selalu mendoakan untuk kesuksesan anak-anak saya,” ungkapnya sembari menutup pembicaraan. Doel

Side Bar I

Ir. Rachmita Maun Harahap, M.Sn, Anak Keempat Masniari Siregar

Ingin Mendirikan Universitas Khusus Tuna Rungu

Rachmita Maun Harahap atau yang kerap disapa Mita ini terlahir mengalami kekurangan dalam pendengaran dan kesulitan untuk bicara. Meski demkian, Mita tidak pernah menyesali nasibnya tersebut. Ia justru bersyukur kepada Allah karena telah diberi kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang normal lainnya. Bagi Mita, kedua orang tuanya sangat berarti dalam perjalanan hidupnya. Disaat masih kecil teman sekolah sempat mencelanya. Namun, kedua orang tuanya selalu menenangkan hati Mita. Ia pun disarankan untuk selau berbesar hati. Selain itu, kedua orang tuanya juga sangat menyayangi semua anak-anak, tak terkecuali bagi anak-anak tuna rungu. Mita juga sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat peduli sekali dengan pendidikan anak-anaknya ”Kalau orang tua saya tidak peduli dengan pendidikan kami, mungkin saya tidak seperti sekarang,” jelas suami Irwan Ibrahim ini.

Sebagai tuna runggu, tentunya Mita sangat memahami betul kesulitan-kesulitan orang yang senasib denganya. Apalagi di keluarganya sendiri ada tiga orang yang tuna rungu. Terdorong ingin membantu teman-teman sensibnya itu pada tanggal 5 desember 2001 lalu, ia mendirikan Yayasan SEHJIRA (Sehat Jiwa Raga). Yayasan ini bergerak dalam pelatihan dan pendidikan khusus untuk tuna rungu. Selain mendirikan Yayasan SEHJIRA, Mita juga memiliki obsesi lain yang sangat besar yaitu mendirikan universitas khusus tuna rungu. Sebab di Indonesia, belum ada universitas khusus untuk tuna rungu. Dalam waktu dekat ini, rencanaya ia juga akan mengambil gelar doktor di Luar negeri. “Saya ingin mengambil gelar doktor,” ungkap Mita tanpa menjelaskan lebih lanjut. Doel

R. Hardianto Wardjaman, SH., Ketua Jakarta Rescue

R. Hardianto Wardjaman, SH., Ketua Jakarta Rescue

Rela Bercerai dari Sang Istri Demi Aktivitas Sosial

Sangat jarang orang yang mau terlibat di aktivitas sosial apalagi tidak mendapatkan bayaran sepeser pun. Namun lain halnya dengan R. Hardianto Wardjaman. Baginya, terjun di dunia aktivitas sosial adalah pilihan hidup yang harus dijalani hingga rela bercerai dengan sang istri karena terlalu sering ditinggal. Apa yang mendasari semua kegiatan aktivitas sosialnya itu?

Sabtu (23/2) siang di sebuah rumah sederhana yang berlokasi di pinggiran Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, terlihat selusinan orang berseragam orange antusias mendengarkan pemaparan dari seorang instruktur. Sesekali mereka mendiskusikan mengenai salah satu materi yang disampaikan. Orang-orang yang berseragam orange itu adalah para anggota Jakarta Rescue yang tengah menjalani pelatihan tingkat terampil (intermediate) dari seorang instruktur bernama R. Hardianto Wardjaman, yang tak lain adalah juga pendiri dan ketua Jakarta Rescue.

Pelatihan itu baru berhenti saat jam tepat menunjukkan angka 12.00, waktunya untuk istirahat dan makan siang. Di sela-sela istirahatnya itulah, R. Hardianto Wardjaman atau yang kerap disapa Anto ini mau berbagi kepada Realita seputar aktivitas sosial yang ia anggap sebagai hobi itu.

Anto sendiri merupakan anak terakhir dari 11 bersaudara dari pasangan (Alm) H.R. Wardjaman Yuda Subrata dan R. Ratna Ayu (90). Sebagai anak terakhir, Anto mengaku tidak mau terbelenggu dengan kemanjaan keluarga. “Biar anak bontot, saya harus mandiri,” ujarnya. Seperti saat SMP di mana ia sudah bisa membiayai sekolahnya sendiri dengan berjualan rumput Peking dan rumput Gajah di depan TVRI. Saat masuk SMA di Bulungan Jakarta Selatan, ia berhenti berjualan rumput dan beralih profesi menjadi seorang makelar tanah. Pekerjaan ini ia lakoni hingga selesai SMA.

Setamat SMA Anto melanjutkan kuliahnya ke Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG). Karena sejak kecil sangat hobi naik gunung, maka pada saat kuliah Anto pun bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Alam. Sebagai mahasiswa pecinta alam, hampir semua gunung yang ada di Indonesia pernah ia daki. Hidup di alam rupanya mengajarkan Anto banyak hal yaitu, menghargai alam, solidaritas, dan membantu antar sesama.

Membentuk Jakarta Rescue. Bagi pria berkumis tebal kelahiran Jakarta 12 April 1963 ini, membantu orang adalah panggilan jiwa. Apalagi jika berkaitan dengan masalah penanganan bencana alam yang sudah menjadi hobinya sejak kecil. Anto sendiri membentuk Jakarta Rescue berawal dari sebuah peristiwa tabrakan kereta api di Bintaro tahun 1986 lalu. Saat itu kereta api yang berangkat dari Rangkas Bitung dan kereta api yang berangkat dari stasiun Tanah Abang bertabrakan dan menewaskan lebih dari 100 orang penumpang. “Saat itu banyak sekali potongan-potongan badan korban yang berserakan di jalan,” kenangnya. Yang disesalkan Anto kala itu adalah, masyarakat sekitar hanya menonton saja, tidak ada yang mencoba membantu mengevakuasi para korban. “Saat itu hati saya langsung tergerak untuk menolong,” ungkapnya. Karena tidak ada yang berani mengevakuasi para korban, akhirnya Anto memanggil teman-temannya yang tergabung di Jakarta Wilis Club, untuk mengevakuasi para korban dan membawa mereka ke rumah sakit terdekat.

Sejak peristiwa naas itu, Anto berfikir untuk membentuk satu wadah sosial kemanusiaan untuk membantu mengevakuasi masyarakat jika terjadi bencana atau kecelakaan. Setelah berdiskusi dengan teman-temannya, akhirnya disepakati membentuk wadah yang bernama Jakarta Rescue pada tanggal 28 Juni 1986. Anto sendiri didaulat sebagai ketuanya dan saat itu juga peresmiannya dikukuhkan oleh ketua PMI DKI Jakarta, Bpk. Muhammad Muas, SH. Didirikannya wadah ini adalah untuk menggalang dan membina generasi muda Jakarta sebagai kader terdepan insan penyelamat yang handal dengan pengetahuan dan wawasan berstandar Internasional.

Sebagai seorang ketua tentunya Anto harus mempunyai pemahaman yang luas terhadap manajemen bencana. Untuk menambah wawasannya itu, setelah dipercaya menjadi ketua, Anto melanjutkan pendidikan rescue-nya ke luar negeri yaitu ke negeri Jepang dan Amerika.

Meski Jakarta Rescue didirikan di Jakarta, namun bukan berarti wilayah operasi Jakarta Rescue hanya bergerak di Jakarta saja. Hampir setiap ada bencana alam di seluruh Indonesia, baik itu banjir, gempa bumi, longsor, maupun gunung meletus, Jakarta Rescue juga ikut serta dalam memberikan bantuan. Seperti tenaga medis, evakuasi, logistik, dan lain-lain. “Setiap ada bencana, sebisa mungkin Jakarta Rescue ikut memberikan bantuan,” ujarnya.

Bukan Milik Pemda DKI. Sebagai warga Jakarta atau di luar Jakarta, mungkin banyak yang beranggapan bahwa Jakarta Rescue adalah bagian dari Pemda DKI. Padahal, Jakarta Rescue adalah organisasi independen yang tidak terikat dengan organisasi maupun instasi manapun. Nama Jakarta Rescue dipakai, sebab yang mendirikan adalah anak-anak Jakarta yang mempunyai kepedulian terhadap sesama. Karena bukan bagian dari Pemda DKI, Jakarta Rescue pun tidak pernah mendapat sokongan dana dari Pemda DKI. “Masyarakat di luar banyak yang beranggapan kalau Jakarta Rescue adalah bagian dari Pemda padahal Jakarta Rescue adalah organisasi independen dan kita tidak pernah dibantu oleh Pemda,” tandasnya.

Adapun untuk biaya operasional, kegiatan Jakarta Rescue tidak mencari dana dari founding-founding luar negeri atau perusahaan-perusahaan dalam negeri seperti kebanyakan yang dilakukan oleh beberapa LSM. Dananya sendiri diperoleh dari para anggota yang kemudian dijadikan usaha dalam menopang kegiatan Jakarta Rescue. “Kalaupun ada yang memberi bantuan, kita akan terima tapi kita tidak akan meminta bantuan dalam aksi kemanusiaan,” tegasnya.

Bentuk usaha yang dikerjakan Jakarta Rescue adalah dengan cara membuat barang-barang perlengkapan out bond seperti celana, sepatu, tas, dan baju yang dijual ke para anggota maupun ke pasar bebas. Selain itu, Jakarta Rescue juga menjadi agen dari perusahaan asing yang membuat perahu karet untuk dijual di Indonesia. “Keuntungannya kalau beli perahu karet kepada kita yaitu akan kita berikan pelatihan dalam penggunaannya,” tutur Anto.

Selain dari usaha-usaha yang dilakukan, Jakarta Rescue juga memiliki dana abadi yang diperoleh dari Setneg (Sekretariat Negara, red) saat menjadi panitia ulang tahun Indonesia emas yang kelima puluh tahun sebesar Rp 60 juta yang terus dikembangkan. Sebagai organisasi sosial, Jakarta Rescue sebenarnya sering mendapat tawaran bantuan pendanaan dari luar negeri. Akan tetapi, tidak semua tawaran itu diterima. Seperti saat terjadi bencana gempa di Yogyakarta. Ada salah satu LSM luar negeri yang menawarkan untuk memberikan bantuan namun Jakarta Rescue tidak merespon tawaran tersebut. Untuk diketahui, dalam menjalankan misinya, Jakarta Rescue setiap tahun menganggarkan alokasi dana sebesar Rp 60 sampai 80 juta untuk operasional kegiatannya.

Adapun sistem organisasi di Jakarta Rescue menggunakan sistem bottom up dan bukannya top down sehingga dari tahun 1986 sampai sekarang bisa tetap eksis tanpa mengandalkan bantuan dari siapapun. Dengan menggunakan metode bottom up, para anggota di tuntut untuk seinovatif mungkin dalam mencari sumber-sumber dana. “Sebenarnya semua organisasi di Indonesia bisa hidup asal jiwa korupsinya tidak ada di ketuanya,” bebernya. Anto juga menambahkan bahwa rusaknya organisasi di Indonesia adalah organisasi amatiran yang ketuanya ingin menguasai keuangan organisasi padahal uang tersebut datangnya dari masyarakat.

Sebagai organisasi sosial yang modern, Jakarta Rescue membagi wilayah operasional kerjanya untuk di Jakarta menjadi lima bagian yaitu Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Juga ada yang di Depok. Selain di Jakarta, Jakarta Rescue juga mengembangkan cabangnya di daerah-daerah hingga saat ini tercacat ada 33 unit cabang di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga saat ada bencana alam yang terjadi di suatu daerah, pihak daerah langsung berkoordinasi dengan pusat.

Tim Jakarta Rescue yang berada di daerah mereka adalah alumni-alumni yang telah mendapat pendidikan di pusat Jakarta Rescue. Sedangkan sistem koordinasinya antar daerah dengan pusat menggunakan sistem mutual independen yaitu setiap wilayah diberi keleluasaan dan kebebasan dalam mengembangkan organisasinya berdasarkan kekuatan managerial organisasi itu.

Quick Action. Dalam menjalankan misi kemanusiaannya, Jakarta Rescue tidak pernah menunggu diminta bantuannya. Akan tetapi setiap terjadi bencana di daerah manapun seperti tsunami maupun banjir, tanpa diminta siapa pun, Jakarta Rescue akan langsung terjun memberikan bantuan. “Jadi, prinsip kita adalah quick action,” bebernya. Tapi tidak semua bencana yang terjadi di Indonesia dibantu oleh Jakarta Rescue, “Biasanya sebelum memberikan bantuan kita akan melakukan mapping terlebih dahulu apakah bencananya parah atau tidak. Kalau parah, setelah di mapping kita akan bantu,” ungkapnya.

Hal yang paling dihindari dari para anggota Jakarta Rescue adalah popularitas. Oleh karena itu, setelah selesai melakukan aksi kemanusiaan (humanity action), langsung akan ditinggal. Sebab dalam aksi kemanusiaan tidak boleh ada perasaan untuk pamer dalam menolong karena semua anggota Jakarta Rescue adalah orang-orang yang memiliki hobi di bidang kemanusiaan yang merasa terpanggil ketika ada bencana sebagaimana yang tercantum dalam motonya sendiri yaitu, “Loyalitas tanpa batas selamatkan sesama.” Moto tersebut merupakan harga mati bagi para anggota Jakarta Rescue. Tidak hanya itu, Jakarta Rescue juga tidak pernah membeda-bedakan dalam memberikan bantuan baik kepada orang kaya maupun miskin. Sebab, prinsip aksi kemanusiaan tidak boleh membeda-bedakan kaya maupun miskin dan suku maupun agama.

Sejak didirikan pada tahun 1986 sampai dengan sekarang, Jakarta Rescue sudah 16 kali melakukan aksi kemanusiaan dalam skala besar seperti meletusnya gunung galunggung tahun 1982 sampai peristiwa tsunami di Aceh. Adapun seperti banjir yang sering terjadi di Jakarta sudah menjadi rutinitas bantuan dari Jakarta Rescue. Aksi kemanusiaan Jakarta Rescue juga ditunjang dengan berbagai fasilitas yang sangat canggih seperti mobil operasional lintas alam, alat penyelamat torpedo, perahu sekoci, dan lain-lain. Untuk saat ini, Jakarta Rescue merupakan organisasi Rescue yang terbesar dan tersolid di Indonesia.

Tidak Digaji. Umumnya orang yang bekerja di aktivitas sosial akan mendapatkan gaji atau bayaran karena telah meluangkan waktu dan tenaganya. Namun, berbeda halnya dengan di Jakarta Rescue. Semua anggotanya tidak mendapatkan bayaran sebab Jakarta Rescue bukanlah tempat untuk mencari uang melainkan sebagai wadah atau kumpulan orang-orang yang mempunyai kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang benar-benar mempunyai sifat sosial yang sangat tinggi.

Sementara itu, para anggota Jakarta Rescue yang berada di Jakarta kebanyakan datang dari berbagai latar belakang yang sangat beragam. Ada yang berprofesi sebagai seorang pengajar, dosen, perawat, dan bahkan ada juga yang berprofesi sebagai seorang ustadz yang memiliki pesantren di Jakarta. Anto sendiri yang menjabat sebagai Ketua, bekerja di PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri TASPEN (persero) sebagai peneliti muda.

Dalam menjalankan misi kemanusiaannya, pengalaman yang paling membahagiakan dan paling berkesan bagi Anto adalah manakala ia bisa mengevakuasi bayi dan nenek-nenek yang tak berdaya. “Kalau kita bisa menyelamatkan bayi dan nenek-nenek, itu pasti happy ending,” kisahnya. Sebab, bayi dan nenek-nenek adalah dua orang manusia yang sangat lemah sehingga ketika bisa menemukan dan menyelamatkan mereka, akan menjadi kesan yang sangat mendalam. Seperti saat mengevakuasi 122 keluarga yang terperangkap banjir deras di Bukit Duri di kedalaman lima meter. Saat itu hanya dengan dua perahu, tim Jakarta Rescue bisa mengevakuasi para korban. “Kita sangat bahagia saat bisa menemukan dan mengevakuasi bayi dan nenek-nenek yang terperangkap,” ujarnya.

Harus Bercerai. Kebanyakan orang yang terjun di dunia aktivitas sosial, meski tidak semua, namun di antara mereka pasti akan sering meninggalkan keluarga. Begitupula halnya Anto. Ia sadar betul dengan aktivitas sosialnya ini. Namun karena semua itu adalah pilihan hidup, maka ia pun rela untuk mengambil risiko tersebut. “Sebagai seorang suami dan ayah, saya sudah berusaha untuk menyeimbangkan aktivitas sosial saya ini dengan kepentingan keluarga,” ujar ayah dari Ratu Aulia Fitrianti (12) ini. Sayangnya misi mulia ini tidak sejalan dan sepaham dengan sang istri. Sang istri menginginkan Anto selalu berada di rumah bersama istri dan anaknya dan hanya berfikir untuk istri dan anaknya saja. Karena perbedaan prinsip itulah akhirnya Anto memutuskan untuk berpisah dengan sang istri.

Bagi Anto, ketika seorang suami sudah memberikan hak istri dan anaknya, ia juga berhak memberikan waktunya untuk orang lain agar hidupnya bermanfaat. Sebab, menurutnya, kebahagiaan hakiki dan tertinggi manakala ia bisa berbagi kepada siapa pun. Berbagi pun tidak harus melulu bersifat materi. Bisa juga dengan tenaga, pikiran, dan waktu yang dikeluarkan. Selain itu Anto juga percaya bahwa jika orang memberikan satu kebaikan, maka Allah juga akan melipatgandakan kebaikan itu seratus kali lipat pahalanya.

Harapan terbesar Anto dengan apa yang dilakukannya selama ini adalah, ingin menggugah kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap sesama. Sebab, menurutnya, setelah era reformasi yang terjadi di tahun 1998, jiwa sosial dan gotong royong masyarakat sangat rendah. “Masyarakat sekarang sangat individualistis satu sama lain dan tidak mau saling membantu. Seperti untuk kerja bakti di lingkungan saja, jarang ada yang mau. Padahal itu lingkungannya sendiri,” sesalnya. Doel

Side Bar I

Pernah Investigasi TKW yang Dijadikan Budak Seks di Malaysia

Untuk menjadi anggota Jakarta Rescue, tidaklah mudah. Sebab mereka harus melalui beberapa tahapan pelatihan. Yang pertama adalah tingkat dasar (basic). Kedua, tingkat terampil (intermediate) dan yang ketiga adalah tingkat mahir (advanced). Ketika seseorang telah melewati tingkat tiga, ia baru bisa diterjunkan di lokasi bencana alam. “Dalam menerjunkan relawan, kita tidak sekadar menerjunkan karena bisa-bisa akan menyelakai si relawan itu sendiri,” tutur Anto.

Selama menjalankan operasi kemanusiaan, Jakarta Rescue tidak pernah gagal. Sebab dalam bencana apa pun target sudah terintuisi harus tercapai. “Jadi, kita menyelamatkan diri sendiri untuk menyelamatkan orang lain. Selain itu, dalam setiap operasi selalu menggunakan perencanaan matang dan mapping (pemetaan) yang baik sehingga dalam menjalankannya selalu berhasil dan bahkan sering menyelamatkan tim rescue yang lain,” jelas Anto. Dalam setiap tim operasi terdapat beberapa tim yaitu tim Advance atau tim Mapping, Evakuasi, logistik, dan medis.

Selain di wilayah Indonesia, Jakarta Rescue juga pernah investigasi penyekapan seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang dijadikan budak seks di Malaysia di daerah Kucing. Saat itu, tim Jakarta Rescue menyamar sebagai turis untuk berlibur ke Malaysia. Setelah sampai di Malaysia, tim Jakarta Rescue lalu mencari informasi data tentang penyekapan dan melaporkannya kepada pihak kepolisian. Menurut Anto, sebenarnya kalau ingin melakukan operasi kemanusiaan di suatu negara, agar lebih jeli, lebih baik lewat tim rescue daripada pihak kepolisian. Doel

Ira Soelistyo

Ira Soelistyo, Pendiri Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI)

Dirikan “Rumah Kita” Berdasarkan Pengalamannya Saat Mendampingi Sang Anak yang Menderita Kanker Darah

Meski sudah dibantu dalam hal pembiayaan, banyak anak penderita kanker tidak melanjutkan pengobatannya. Hal ini membuat pengobatan kanker tidak tuntas dan dapat kambuh kembali. Banyak faktor yang melatarbelakangi, diantaranya adalah tidak ada biaya untuk makan dan menginap selama keluarga mendampingi anaknya yang sedang dirawat inap. Lewat Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia, Ira Soelistyo mendirikan rumah singgah yang diperuntukkan bagi orang tidak mampu selama mendampingi anaknya yang sedang rawat inap maupun rawat jalan. Apa yang melatarbelakangi Ira mendirikan rumah singgah tersebut?


Minggu (05/04) sore, sebuah rumah yang terletak di Jalan Waru no 12 Pondok Labu Cilandak, Jakarta Selatan itu tampak sepi. Lolongan anjing dari dalam rumah seolah memberitahukan kepada empunya rumah bahwa ada orang yang datang. Benar saja, tak lama kemudian seorang wanita paruh baya mengenakan batik, keluar dari sebuah garasi mobil. Senyum dan sapa ramahnya menyambut kedatangan Realita pada sore itu. Dialah Ira Soelistyo, salah seorang pendiri Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) sekaligus menjabat sekretaris di Yayasan tersebut. Selama puluhan tahun hidupnya didedikasikan untuk membantu anak penderita kanker di Indonesia. Lewat aksi sosialnya, sudah banyak anak penderita kanker yang ditolongnya. Kegiatannya pun tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.

Ira Soelistyo yang kerap disapa Ira ini lahir di Surabaya pada 20 Agustus 1952. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya adalah TNI Angkatan Laut yang sering berpindah-pindah tugas. Meski ia lahir di Surabaya, namun menjalani pendidikan Sekolah Dasar hingga Kuliah di Jakarta. “Saya numpang lahir saja di Surabaya,” candanya. Setelah menamatkan kuliah di Universitas UPN ia bekerja di Setdco, perusahaan telekomunikasi milik Setiawan Djodi. Tak lama bekerja, ia menikah dengan Soelistyo Soenarjo, seorang konsultan property. Dari pernikahannya dengan Soelistyo Soenarjo, Ira dikaruniai dua orang anak, Aditiya Wijaksono (alm.) dan Tiya (25).

Seiring perjalanan waktu, ada satu pengalaman pahit yang harus dilaluinya pada tahun 1983. “Anak pertama saya terkena kanker darah,” aku Ira. Pada mulanya Ira menduga Adit kurang vitamin, jadi ia memberinya vitamin. Namun setelah satu bulan berlalu, kondisi Adit tak kunjung berubah. Karena penasaran dengan kondisi anaknya, Ira lalu membawa Adit ke Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM). Bak disambar geledek di siang bolong, setelah diperiksa ternyata Adit terkena kanker darah. “Pada awalnya saya sempat tak percaya mendengar berita itu,” kenangnya. Dan anehnya lagi dokter yang memeriksa mengatakan, berobat di mana saja, Adit tidak bisa disembuhkan.

Meski mendapat penjelasan seperti itu, Ira tak menyerah begitu saja. Ia lantas mencari berbagai informasi mengenai kanker darah (leukemia) di rumah sakit luar negeri. “Saya telepon ke rumah sakit Australia tidak bisa karena sudah di obati, telepon ke Amerika juga mendapat jawaban yang sama. Tapi saya disarankan oleh dokter di Amerika untuk berobat ke negeri Belanda,” urainya. Setelah disarankan untuk ke negeri Belanda oleh dokter Amerika, Ira lalu mengontak dokter yang berada di RS Belanda. Dokter yang berada di sana siap mengobati anaknya.

Tak banyak membuang waktu, setelah mengurus semua perijinan, dengan modal nekat dan uang pas-pasan, ia langsung terbang ke negara kincir angin tersebut. Sesampainya di sana ia langsung ditangani oleh Prof. A. Voute. Tapi sebelum diobati, profesor itu bertanya kepada Ira, ”Kalau saya mengobati anak ibu, ibu harus lihat dulu pasien yang lain.” Lalu Ira pun diajak berkeliling rumah sakit melihat para pasien leukemia. Ada yang sudah berobat selama 5 tahun dan bahkan ada yang 7 tahun. “Setelah melihat pasien ada yang menderita 7 tahun itu, saya baru mulai tenang dan tidak panik lagi,” aku Ira.

Tujuan sang profesor mengajak Ira berkeliling melihat pasien adalah untuk memberikan kesiapan mental terlebih dahulu kepada Ira sebelum memeriksa anaknya. Sebab pengobatan kanker anak semata-mata bukan hanya hubungan antara pasien dan dokter, tapi juga melibatkan orang tua. Orang tua sangat berperan penting dalam proses kesembuhan anak, sebab orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak. Dengan selalu memberikan motivasi dan kasih sayang kepada anak, akan lebih cepat dalam proses penyembuhan.

Selama di Belanda, karena biaya hotel mahal, Ira dan anaknya ditampung di Biara, tinggal bersama para suster. Ira mengaku selama anaknya berobat di Belanda tidak terasa sedang berobat sebab setelah diobati boleh pulang ke Biara dan jalan-jalan. “Jadi, anak saya tidak merasa diobatin,” cerita Ira. Selain itu dokter memperlakukannya dengan penuh keramahan sehingga anak tidak merasa takut ketika bertemu dokter. Kurang lebih 8 bulan Ira dan anaknya berada di Belanda, setelah kondisi anaknya mulai membaik, Ira lalu kembali ke Jakarta.

Ira mengaku selama berobat di Belanda banyak sekali pengalaman berharga dan berkesan yang tidak ia temukan di Indonesia. Makanya ia bertekad setelah kembali ke Indonesia harus memberikan sesuatu untuk para penderita kanker anak di Indonesia. Ketika pulang ke Indonesia, kegiatan pertama kali yang ia lakukan adalah membantu para anak penderita kanker yang kesulitan biaya dengan cara mencarikan donatur. Selain itu ia juga membantu pengadaan obatnya. Ira bekerja sama dengan dirjen POM untuk mendatangkan obat dari Belanda karena ia memiliki relasi dengan para dokter di Belanda. “Sebagai orang tua yang memiliki anak kanker leukemia, saya merasa terpanggil untuk membantu orang yang tidak mampu. Sebab, selain biayanya mahal, obatnya saat itu hanya ada di Belanda,” jelasnya.

Saat anaknya harus kontrol lagi ke Belanda, Ira berfikir kenapa tidak dipanggil saja dokternya ke Indonesia. ”Saya merasa egois sekali kalau harus berobat ke Belanda padahal banyak anak Indonesia yang terkena kanker tapi tidak bisa berobat ke luar,” batinnya. Setelah berfikir, akhirnya ia menemukan ide untuk mengumpulkan orang tua dari para anak penderita kanker yang pernah berobat ke Belanda untuk mendatangkan Prof. A. Voute, dokter kanker dari Belanda dengan cara patungan membiayai pesawat. Ira juga menawarkan kerja sama dengan RS Pertamina untuk kontrol tempat praktik dokter. “Jadi kita tanggung tiketnya, RS Pertamina tanggung biaya hotelnya,” paparnya. Setelah dari RS Pertamina, Prof. A. Voute juga ditawarkan ke beberapa rumah sakit yang lain di Surabaya dan Semarang. Prof. A. Voute, selain dokter kanker juga menjabat ketua perhimpunan dokter-dokter kanker anak sedunia.

Berbekal pengalaman mendampingi anaknya yang sakit, dari mulai saat berobat ke negara Belanda sampai mendatangkan dokter dari Belanda, akhirnya Ira mengajak beberapa orang tua yang pernah berobat ke negeri Belanda untuk mendirikan sebuah Yayasan Kanker Anak. Setelah diadakan beberapa kali pertemuan, akhirnya disepakati membentuk Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI). Ira sendiri diamanahi untuk duduk sebagai ketuanya. “Saat itu ada 9 orang pendiri, 6 orang tua penderita dan 3 orang bukan orang tua penderita,” terangnya. YOAI sendiri didirikan bertujuan untuk menolong para anak penderita kanker yang kurang mampu.

Anaknya Meninggal. Sebagai orang tua, Ira sudah berusaha semaksimal mungkin dalam mengobati anaknya. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada umur 25 tahun, anaknya dipanggil Yang Maha Kuasa. Bagi Ira, anaknya bisa bertahan sampai umur 25 tahun adalah suatu mukjizat tersendiri. Sejak itu Ira berfikir bahwa ia saja yang sudah berusaha semaksimal mungkin mengobati anaknya sampai ke negeri Belanda tapi anaknya tidak bisa tertolong, bagaimana dengan orang-orang yang tidak punya biaya untuk berobat ke luar negeri.

Oleh karena itu, selain aktif di YOAI, Ira juga aktif di ICCCPO (The International Confederation of Childhood Cancer Parent Organization) yaitu lembaga kanker anak internasional. Sebagai anggota ICCCPO tentunya Ira sering berkeliling dunia untuk mengkampanyekan pentingnya peran orang tua dalam membantu penyembuhan kanker anak. Dengan kesibukannya itulah akhirnya ia melepaskan jabatan ketua YOAI dan selanjutnya kepemimpinan YOAI dipegang oleh Rahmi Taher dan Ira sendiri menjabat sebagai pembina. Tak lama menjadi pembina, ia pun mengundurkan diri lagi dan membentuk Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI).

Membentuk YKAKI. Pendirian YKAKI menurut Ira bukanlah untuk menyaingi YOAI, melainkan untuk melengkapi apa yang belum digarap oleh YOAI. Sebab, selama menjadi ketua YOAI, Ira banyak menemukan fakta di lapangan, banyak pasien yang sudah diberi pertolongan biaya pengobatan namun tidak melanjutkan karena terbentur masalah ongkos transportasi, biaya makan, dan penginapan. Nah, dari pengalaman itulah Ira bersama dua orang kawannya yaitu Pinta Manullang dan Hj. Aniza M. Santosa yang juga pernah terlibat di YOAI sepakat untuk mendirikan YKAKI.

Salah satu program YKAKI adalah membuat “rumah kita” sebagai sarana tempat tinggal sementara bagi para penderita serta keluarga yang sedang rawat inap maupun rawat jalan yang diharapkan dapat menunjang pengobatan dan perawatan secara tuntas. Rumah Kita ini terletak di Jln Percetakan Negara XI Gg. 2 No. 32 RT 09/RW 04 Kelurahan Rawa Sari, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Jarak Rumah singgah YKAKI ini sangat berdekatan dengan RSCM sehingga memudahkan para pasien. Untuk sampai di RSCM, dari Rumah Kita cukup hanya sekali naik kendaraan dengan biaya hanya Rp 2000. Selain jaraknya yang cukup dekat, lokasi Rumah Kita ini berada di daerah yang cukup asri sehingga terhindar dari polusi udara. Rumah kita sendiri hanya menampung enam keluarga.

Keberadaan rumah singgah bagi keluarga anak pasien kanker ini sangat berarti. Sebab, selain tidak dipungut biaya, YKAKI juga menyediakan semua kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, minyak, gula, dan lain-lain. Tidak hanya kebutuhan pokok, rumah singgah di YKAKI juga dilengkapi berbagai fasilitas seperti TV dan telepon. “Selain sebagai rumah singgah, para penghuni juga bisa sharing sehingga bisa bertukar pengalaman dengan teman-temannya sesama penderita kanker,” jelasnya. “Tidak banyak persyaratan untuk bisa tinggal di Rumah Kita, syaratnya hanya bersedia merawat dan mencuci perabotan yang dipakai serta mau menjaga kebersihan rumah bersama para penghuni lain,” jelasnya.

Dirikan Sekolahku. Kepedulian YKAKI bukan hanya sebatas memberikan fasilitas rumah singgah saja. Karena pengobatan kanker membutuhkan waktu lama dan seringkali pasien harus tinggal di rumah sakit hingga meninggalkan bangku sekolah, agar para penderita tidak ketinggalan pelajaran, selama menjalani pengobatan, mereka juga diberikan pelajaran. YKAKI bekerja sama dengan homeschooling Kak Seto untuk memberikan pelajaran. “Untuk tempatnya, kita diberi ruangan khusus oleh pihak RSCM di bangsal perawatan anak kelas tiga untuk proses belajar mengajar,” terangnya. Sedangkan waktu belajarnya adalah seminggu dua kali.

Ide membuat homeschooling di rumah sakit ini berdasarkan pengalaman Ira dan rekan-rekannya saat anaknya berobat di Belanda dan ini merupakan terobosan baru agar ketika pulang ke rumah, bisa langsung kembali ke sekolah. “Program ini merupakan program pertama kali yang ada di Indonesia. Mudah-mudahan bisa diterapkan di rumah sakit yang lain,” bebernya.

Program YKAKI lainnya adalah mengumpulkan data anak penderita kanker di Indonesia dengan memberikan komputer dan printer di lima rumah sakit yaitu, RSU Cipto Mangun Kusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta), RSU Adam Malik (Medan), RSU Sanglah (Denpasar) dan RSU Prof. R.D. Kandau (Manado). Sumbangan komputer dan printer ini diharapkan dapat mendukung terlaksananya pencatatan jumlah insiden anak penderita kanker yang lebih akurat. Data statistik jumlah insiden dibutuhkan guna melaksanakan optimalisasi penanggulangan kanker. Sebab selama ini belum ada jumlah pasti anak penderita kanker, padahal menurut data statistik resmi dari IARC (International Agency for Research on Cancer) menyatakan bahwa 1 dari 600 anak akan menderita kanker sebelum umur 16 tahun.

Rupanya, kepedulian YKAKI dalam membantu para anak penderita kanker bukan hanya membuat rumah singgah dan sekolahku saja, YKAKI juga mengadakan berbagai kegiatan lainnya seperti penyuluhan kepada kelompok-kelompok masyarakat, dan pemberian konseling bagi anak-anak penderita kanker. Program lainnya adalah mengadakan pelatihan nasional bagi perawat anak bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Doel

Side Bar I

Kanker pada Anak Masih Bisa Diobati

Bagi sebagian ibu-ibu, mungkin ketika mendapati anaknya sakit kanker, akan mengalami penyesalan dan bahkan mungkin menyalahkan Tuhan karena telah memberikan anaknya sebuah penyakit yang mematikan. Penyakit kanker pada anak membutuhkan penanganan dengan keahlian, sarana, dan prasarana khusus. Apabila kanker menimpa anak, akan merupakan beban yang sangat kompleks bukan hanya bagi orang tua, tetapi juga bagi saudara-saudaranya, dokter, perawat, sekolah, dan masyarakat lingkungannya.

Kanker pada anak sendiri mencapai 1% dari jumlah penyakit kanker secara menyeluruh. Namun kanker pada anak dapat disembuhkan bila dideteksi secara dini dan apabila pengobatan serta perawatan dilaksanakan dengan sarana dan prasarana yang memadai. Berbeda dengan kanker orang dewasa yang tidak bisa disembuhkan. Meski diobati, hanya agar tidak menderita sakit dan memperpanjang umur.

Adapun di antara gejala-gejala pada anak penderita kanker adalah, pertama, bintik putih pada mata atau “mata kucing”, mata tampak lebih besar, mata menonjol, peredaran mata secara spontan, dan mata mendadak juling. Umumnya ini terjadi pada anak di bawah usia 4 tahun. Kedua, pembekakkan, misalnya pada hati, limpa, leher, buah zakar, kelenjar getah bening, dan tulang. Ketiga, rasa nyeri pada tulang atau sendi. Keempat, tanda-tanda neurologis, sakit kepala yang berkepanjangan dan disertai mual atau muntah yang menyemprot pada saat bangun tidur, gangguan keseimbangan, penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan anggota gerak, dan otak syaraf. Doel