Rabu, 30 Januari 2008

Elang Gumilang

Elang Gumilang, Mahasiswa

Bangun Perumahan untuk Orang Miskin Demi Keseimbangan Hidup

Selama ini banyak developer yang membangun perumahan namun hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas saja. Jarang sekali developer yang membangun perumahan yang memang dikhususkan bagi orang-orang kecil. Elang Gumilang (22), seorang mahasiswa yang memiliki jiwa wirausaha tinggi ternyata memiliki kepedulian tinggi terhadap kaum kecil yang tidak memiliki rumah. Meski bermodal pas-pasan, ia berani membangun perumahan khusus untuk orang miskin. Apa yang mendasarinya?

Jumat sore (28/12), suasana Institut Pertanian bogor (IPB), terlihat lengang. Tidak ada geliat aktivitas proses belajar mengajar. Maklum hari itu, hari tenang mahasiswa untuk ujian akhir semester (UAS). Saat Realita melangkahkah kaki ke gedung Rektorat, terlihat sosok pemuda berperawakan kecil dari kejauhan langsung menyambut kedatangan Realita. Dialah Elang Gumilang (22), seorang wirausaha muda yang peduli dengan kaum miskin. Sambil duduk di samping gedung Rektorat, pemuda yang kerap disapa Elang ini, langsung mengajak Realita ke perumahannya yang tak jauh dari kampus IPB. Untuk sampai ke perumahan tersebut hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kami berhenti saat melewati deretan rumah bercat kuning tipe 22/60. Rupanya bangunan yang berdiri di atas lahan 60 meter persegi itu adalah perumahan yang didirikannya yang diperuntukan khusus bagi orang-orang miskin. Setelah puas mengitari perumahan, Elang mengajak Realita untuk melanjutkan obrolan di kantornya.

Elang sendiri merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan H. Enceh (55) dan Hj. Prianti (45). Elang terlahir dari keluarga yang lumayan berada, yaitu ayahnya berprofesi sebagai kontraktor, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Sejak kecil orang tuanya sudah mengajarkan bahwa segala sesuatu diperoleh tidak dengan gratis. Orang tuanya juga meyakinkan bahwa rezeki itu bukan berasal dari mereka tapi dari Allah SWT.

Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar Pengadilan 4, Bogor, Elang sudah mengikuti berbagai perlombaan dan bahkan ia pernah mengalahkan anak SMP saat lomba cerdas cermat. Karena kepintarannya itu, Elang pun menjadi anak kesayangan guru-gurunya.

Begitu pula ketika masuk SMP I Bogor, SMP terfavorit di kabupaten Bogor, Elang selalu mendapatkan rangking. Pria kelahiran Bogor, 6 April 1985 ini mengaku kesuksesan yang ia raih saat ini bukanlah sesuatu yang instan. “Butuh proses dan kesabaran untuk mendapatkan semua ini, tidak ada sesuatu yang bisa dicapai secara instan,” tegasnya. Jiwa wirausaha Elang sendiri mulai terasah saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA I Bogor, Jawa Barat. Dalam hati, Elang bertekad setelah lulus SMA nanti ia harus bisa membiayai kuliahnya sendiri tanpa menggantungkan biaya kuliah dari orang tuanya. Ia pun mempunyai target setelah lulus SMA harus mendapatkan uang Rp 10 juta untuk modal kuliahnya kelak.

Berjualan Donat. Akhirnya, tanpa sepengetahuan orang tuanya, Elang mulai berbisnis kecil-kecilan dengan cara berjualan donat keliling. Setiap hari ia mengambil 10 boks donat masing-masing berisi 12 buah dari pabrik donat untuk kemudian dijajakan ke Sekolah Dasar di Bogor. Ternyata lumayan juga. Dari hasil jualannya ini, setiap hari Elang bisa meraup keuntungan Rp 50 ribu. Setelah berjalan beberapa bulan, rupanya kegiatan sembunyi-sembunyinya ini tercium juga oleh orang tuanya. “Karena sudah dekat UAN (Ujian Akhir Nasional), orang tua menyuruh saya untuk berhenti berjualan donat. Mereka khawatir kalau kegiatan saya ini mengganggu ujian akhir,” jelas pria pemenang lomba bahasa sunda tahun 2000 se-kabupaten Bogor ini.

Dilarang berjualan donat, Elang justru tertantang untuk mencari uang dengan cara lain yang tidak mengganggu sekolahnya. Pada tahun 2003 ketika Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB mengadakan lomba Java Economic Competion se-Jawa, Elang mengikutinya dan berhasil menjuarainya. Begitu pula saat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan kompetisi Ekonomi, Elang juga berhasil menjadi juara ke-tiga. Hadiah uang yang diperoleh dari setiap perlombaan, ia kumpulkan untuk kemudian digunakan sebagai modal kuliah.

Setelah lulus SMU, Elang melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi IPB (Institut Pertanian Bogor). Elang sendiri masuk IPB tanpa melalui tes SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru, red) sebagaimana calon mahasiswa yang akan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Ini dikarenakan Elang pernah menjuarai kompetisi ekonomi yang diadakan oleh IPB sehingga bisa masuk tanpa tes. Saat awal-awal masuk kuliah, Elang mendapat musibah yang menyebabkan uang Rp 10 jutanya tinggal Rp 1 juta. Namun Elang enggan memberitahu apa musibah yang dialaminya tersebut.

Padahal uang itu rencananya akan digunakan sebagai modal usaha. Meski hanya bermodal Rp 1 juta, Elang tidak patah semangat untuk memulai usaha. Uang Rp 1 juta itu ia belanjakan sepatu lalu ia jual di Asrama Mahasiswa IPB. Lewat usaha ini, dalam satu bulan Elang bisa mengantongi uang Rp 3 jutaan. Tapi setelah berjalan beberapa tahun, orang yang menyuplai sepatunya entah kenapa mulai menguranginya dengan cara menurunkan kualitas sepatunya. Satu per satu pelanggannya pun tidak mau lagi membeli sepatu Elang. Sejak itu, Elang memutuskan untuk tidak lagi berjualan sepatu.

Setelah tidak lagi berbisnis sepatu, Elang kebingungan mencari bisnis apalagi. Pada awalnya, dengan sisa modal uang bisnis sepatu, rencanaya ia akan gunakan untuk bisnis ayam potong. Tapi, ketika akan terjun ke bisnis ayam potong, Elang justru melihat peluang bisnis pengadaan lampu di kampusnya. “Peluang bisnis lampu ini berawal ketika saya melihat banyak lampu di IPB yang redup. Saya fikir ini adalah peluang bisnis yang menggiurkan,” paparnya. Karena tidak punya modal banyak, Elang menggunakan strategi Ario Winarsis, yaitu bisnis tanpa menggunakan modal. Ario Winarsis sendiri awalnya adalah seorang pemuda miskin dari Amerika Latin, Ario Winarsis mengetahui ada seorang pengusaha tembakau yang kaya raya di Amerika. Setiap hari, ketika pengusaha itu keluar rumah, Ario Winarsis selalu melambaikan tangan ke pengusaha itu. Pada awalnya pengusaha itu tidak memperdulikannya. Tapi karena Ario selalu melambaikan tangan setiap hari, pengusaha tembakau itu menemuinya dan mengatakan, “Hai pemuda, kenapa kamu selalu melambaikan tangan setiap saya ke luar rumah?” Pemuda miskin itu lalu menjawab, “Saya punya tembakau kualitas bagus. Bapak tidak usah membayar dulu, yang penting saya dapat PO dulu dari Bapak.” Setelah mendengar jawaban dari pemuda itu, pengusaha kaya itu lalu membuatkan tanda tangan dan stempel kepada pemuda tersebut. Dengan modal stempel dan tanda tangan dari pengusaha Amerika itu, pemuda tersebut pulang dan mengumpulkan hasil tembakau di kampungnya untuk di jual ke Amerika lewat si pengusaha kaya raya itu. Maka, jadilah pemuda itu orang kaya raya tanpa modal.

Begitupula Elang, dengan modal surat dari kampus, ia melobi ke perusahaan lampu Philips pusat untuk menyetok lampu di kampusnya. “Alhamdulillah proposal saya gol, dan setiap penjualan saya mendapat keuntungan Rp 15 juta,” ucapnya bangga.

Tapi, karena bisnis lampu ini musiman dan perputaran uangnya lambat, Elang mulai berfikir untuk mencari bisnis yang lain. Setelah melihat celah di bisnis minyak goreng, Elang mulai menekuni jualan minyak goreng ke warung-warung. Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, ia harus membersihkan puluhan jerigen, kemudian diisi minyak goreng curah, dan dikirim ke warung-warung Pasar Anyar, serta Cimanggu, Bogor. Setelah selesai mengirim minyak goreng, ia kembali ke kampus untuk kuliah. Sepulang kuliah, Elang kembali mengambil jerigen-jerigen di warung untuk diisi kembali keesokan harinya. Tapi, karena bisnis minyak ini 80 persen menggunakan otot, sehingga mengganggu kuliahnya. Elang pun memutuskan untuk berhenti berjualan. “Saya sering ketiduran di kelas karena kecapain,” kisahnya.

Elang mengaku selama ini ia berbisnis lebih banyak menggunakan otot dari pada otak. Elang berkonsultasi ke beberapa para pengusaha dan dosennya untuk minta wejangan. Dari hasil konsultasi, Elang mendapat pencerahan bahwa berbisnis tidak harus selalu memakai otot, dan banyak peluang-peluang bisnis yang tidak menggunakan otot.

Setelah mendapat berbagai masukan, Elang mulai merintis bisnis Lembaga Bahasa Inggris di kampusnya. “Bisnis bahasa Inggris ini sangat prospektif apalagi di kampus, karena ke depan dunia semakin global dan mau tidak mau kita dituntut untuk bisa bahasa Inggris,” jelasnya. Adapun modalnya, ia patungan bersama kawan-kawannya. Sebenarnya ia bisa membiayai usaha itu sendiri, tapi karena pegalaman saat jualan minyak, ia memutuskan untuk mengajak teman-temannya. Karena lembaga kursusnyanya ditangani secara profesional dengan tenaga pengajar dari lulusan luar negeri, pihak Fakultas Ekonomi mempercayakan lembaganya itu menjadi mitra.

Karena dalam bisnis lembaga bahasa Inggris Elang tidak terlibat langsung dan hanya mengawasi saja, ia manfaatkan waktu luangnya untuk bekerja sebagai marketing perumahan. “Saya di marketing tidak mendapat gaji bulanan, saya hanya mendapatkan komisi setiap mendapat konsumen,” ujarnya.

Bangun Rumah Orang Miskin. Di usianya yang relatif muda, pemuda yang tak suka merokok ini sudah menuai berbagai keberhasilan. Dari hasil usahanya itu Elang sudah mempunyai rumah dan mobil sendiri. Namun di balik keberhasilannya itu, Elang merasa ada sesuatu yang kurang. Sejak saat itu ia mulai merenungi kondisinya. “Kenapa kondisi saya begini, padahal saya di IPB hanya tinggal satu setengah tahun lagi. Semuanya saya sudah punya, apalagi yang saya cari di dunia ini?” batinnya.

Setelah lama merenungi ketidaktenangannya itu, akhirnya Elang mendapatkan jawaban. Ternyata selama ini ia kurang bersyukur kepada Tuhan. Sejak saat itulah Elang mulai mensyukuri segala kenikmatan dan kemudahan yang diberikan oleh Tuhan. Karena bingung mau bisnis apalagi, akhirnya Elang shalat istikharah minta ditunjukkan jalan. “Setelah shalat istikharah, dalam tidur saya bermimpi melihat sebuah bangunan yang sangat megah dan indah di Manhattan City, lalu saya bertanya kepada orang, siapa sih yang membuat bangunan megah ini? Lalu orang itu menjawab, “Bukannya kamu yang membuat?” Setelah itu Elang terbangun dan merenungi maksud mimpi tersebut. “Saya pun kemudian memberanikan diri untuk masuk ke dunia properti,” ujarnya.

Pengalaman bekerja di marketing perumahan membuatnya mempunyai pengetahuan di dunia properti. Sejak mimpi itu ia mulai mencoba-coba ikut berbagai tender. Tender pertama yang ia menangi Rp 162 juta di Jakarta yaitu membangun sebuah Sekolah Dasar di daerah Jakarta Barat. Sukses menangani sekolah membuat Elang percaya diri untuk mengikuti tender-tender yang lebih besar. Sudah berbagai proyek perumahan ia bangun.

Selama ini bisnis properti kebanyakan ditujukan hanya untuk orang-orang kaya atau berduit saja. Sedangkan perumahan yang sederhana dan murah yang terjangkau untuk orang miskin jarang sekali pengembang yang peduli. Padahal di Indonesia ada 70 juta rakyat yang masih belum memiliki rumah. Apalagi rumah juga merupakan kebutuhan yang sangat primer. Sebagai tempat berteduh dan membangun keluarga. “Banyak orang di Indonesia terutama yang tinggal di kota belum punya rumah, padahal mereka sudah berumur 60 tahun, biasanya kendala mereka karena DP yang kemahalan, cicilan kemahalan, jadi sampai sekarang mereka belum berani untuk memiliki rumah,” jelasnya.

Dalam hidupnya, Elang ingin memiliki keseimbangan dalam hidup. Bagi Elang, kalau mau kenal orang maka kenalilah 10 orang terkaya di Indonesia dan juga kenal 10 orang termiskin di Indonesia. Dengan kenal 10 orang termiskin dan terkaya, akan mempunyai keseimbangan dalam hidup, dan pasti akan melakukan sesuatu untuk mereka. Melihat realitas sosial seperti itu, Elang terdorong untuk mendirikan perumahan khusus untuk orang-orang ekonomi ke bawah. Maka ketika ada peluang mengakuisisi satu tanah di desa Cinangka kecamatan Ciampea, Elang langsung mengambil peluang itu. Tapi, karena Elang tidak punya banyak modal, ia mengajak teman-temannya yang berjumlah 5 orang untuk patungan. Dengan modal patungan Rp 340 juta, pada tahun 2007 Elang mulai membangun rumah sehat sederhana (RSS) yang difokuskan untuk si miskin berpenghasilan rendah. Dari penjualan rumah yang sedikit demi sedikit itu. Modalnya Elang putar kembali untuk membebaskan lahan di sekitarnya. Rumah bercat kuning pun satu demi satu mulai berdiri.

Elang membangun rumah dengan berbagai tipe, ada tipe 22/60 dan juga tipe 36/72. Rumah-rumah yang berdiri di atas lahan 60 meter persegi tersebut ditawarkan hanya seharga Rp 25 juta dan Rp 37 juta per unitnya. “Jadi, hanya dengan DP Rp 1,25 juta dan cicilan Rp 90.000 ribu per bulan selama 15 tahun, mereka sudah bisa memiliki rumah,” ungkapnya.

Karena modalnya pas-pasan, untuk media promosinya sendiri, Elang hanya mengiklankan di koran lokal. Karena harganya yang relatif murah, pada tahap awal pembangunan langsung terjual habis. Meski harganya murah, tapi fasilitas pendukung di dalamnya sangat komplit, seperti Klinik 24 jam, angkot 24 jam, rumah ibadah, sekolah, lapangan olah raga, dan juga dekat dengan pasar. Karena rumah itu diperuntukkan bagi kalangan ekonomi bawah, kebanyakan para profesi konsumennya adalah buruh pabrik, staf tata usaha (TU) IPB, bahkan ada juga para pemulung.

Sisihkan 10 Persen. Dengan berbagai kesuksesan di usia muda itu, Elang tidak lupa diri dengan hidup bermewah-mewahan, justru Elang semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu wujud rasa syukur atas nikmatnya itu, dalam setiap proyeknya, ia selalu menyisihkan 10 persen untuk kegiatan amal. “Uang yang 10 persen itu saya masukkan ke BMT (Baitul Mal Wa Tanwil/tabungan) pribadi, dan saya alokasikan untuk membantu orang-orang miskin dan orang yang kurang modal,” bebernya. Bagi Elang, materi yang saat ini ia miliki ada hak orang miskin di dalamnya yang musti dibagi. Selain menyisihkan 10 persen dari hasil proyeknya, Elang juga memberikan sedekah mingguan, bulanan, dan bahkan tahunan kepada fakir miskin.

Bagi Elang, sedekah itu tidak perlu banyak tapi yang paling penting adalah kontinuitas dari sedekah tersebut. Meski jumlahnya kecil, tapi jika dilakukan secara rutin, itu lebih baik daripada banyak tapi tidak rutin.

Elang sendiri terbilang sebagai salah satu sosok pengusaha muda yang sukses dalam merintis bisnis di tanah air. Prestasinya patut diapresiasi dan dijadikan suri tauladan bagi anak-anak muda yang lain. Bagi Elang, semua anak muda Indonesia bisa menjadi orang yang sukses, karena kelebihan manusia dengan ciptaan mahkluk Tuhan yang lain adalah karena manusia diberi akal. Dan, ketika manusia lahir ke dunia dan sudah bisa mulai berfikir, manusia itu seharusnya sudah bisa mengarahkan hidupnya mau dibawa kemana. “Kita hidup ibarat diberi diary kosong. Lalu, tergantung kitanya mau mengisi catatan hidup ini. Mau hura-hurakah? Atau mau mengisi hidup ini dengan sesuatu yang bermanfaat bagi yang lain,” ucapnya berfilosof. Ketika seseorang sudah bisa menetapkan arah hidupnya mau dibawa kemana, tinggal orang itu mencari kunci-kunci kesuksesannya, seperti ilmu dan lain sebagainya.

Menjaga Masjid. Adapun kunci kesuksesan Elang sendiri berawal dari perubahan gaya hidupnya saat kuliah semester lima. Pada siang hari, Elang bak singa padang pasir. Selain kuliah, ia juga menjalankan bisnis mencari peluang-peluang bisnis baru, negosiasi, melobi, dan sebagainya. Namun ketika malam tiba, ia harus menjadi pelayan Tuhan, dengan menjadi penjaga Masjid. “Setiap malam dari semester lima sampai sekarang saya tinggal di Masjid yang berada dekat terminal Bogor. Dari mulai membersihkan Masjid, sampai mengunci, dan membukakan pintu pagar untuk orang-orang yang akan shalat Shubuh, semua saya lakukan,” ujarnya merendah.

Elang mengaku ketika menjadi penjaga Masjid ia mendapat kekuatan pemikiran yang luar biasa. Bagi Elang, Masjid selain sebagai sarana ibadah, juga tempat yang sangat mustajab untuk merenung dan memasang strategi. “Dalam halaman masjid itu juga ada pohon pisang dan di sampingnya gundukan tanah. Saya anggap itu adalah kuburan saya. Ketika saya punya masalah saya merenung kembali dan kata Nabi, orang yang paling cerdas adalah orang yang mengingat mati,” ujarnya. Doel

Side Bar I

Ikut Lomba Wirausaha Muda Mandiri Karena Tukang Koran “Ghaib”

Elang semakin dikenal khalayak luas ketika berhasil menjadi juara pertama di ajang lomba wirausaha muda mandiri yang diadakan oleh sebuah bank belum lama ini. Keikutsertaan Elang dalam lomba tersebut sebenarnya berkat informasi dari koran yang ia dapatkan lewat tukang koran “ghaib”. Kenapa “ghaib”?, sebab setelah memberi koran, tukang koran itu tidak pernah kembali lagi padahal sebelumnya ia berjanji untuk kembali lagi.

Peristiwa aneh itu terjadi saat ia sedang mencuci mobil di depan rumahnya. Tiba-tiba saja ada tukang koran yang menawarkan koran. Karena sudah langganan koran, Elang pun menolak tawaran tukang koran itu dengan mengatakan kalau ia sudah berlangganan koran. Tapi anehnya musti sudah mengatakan demikian, si tukang koran itu tetap memaksa untuk membelinya, karena elang tidak mau akhirnya si tukang koran itu memberikan dengan cuma-cuma kepada elang dan berjanji akan kembali lagi keesokan harinya. Karena diberi secara cuma-cuma, akhirnya Elang pun mau menerimanya.

Setelah selesai mencuci mobil, Elang langsung menyambar koran pemberian tukang koran tadi. Setelah membaca beberapa lembar, Elang menemukan satu pengumuman lomba wirausaha muda mandiri. Merasa sebagai anak muda, ia tertantang untuk mengikuti lomba tersebut. Elang pun membawa misi bahwa wirausaha bukan teori melainkan ilmu aplikatif. Saat lolos penjaringan dan dikumpulkan di Hotel Nikko Jakarta, Elang bertemu dengan seorang Bapak yang anaknya sedang sakit keras di pinggir jalan bundaran Hotel Indonesia. Elang merasa ada dua dunia yang sangat kontras, di satu sisi ada orang tinggal di hotel mewah dan makan di restoran, tapi di sisi lain ada orang yang tinggal di jalanan. Akhirnya, pada malam penganugerahan, tim juri memutuskan Elanglah yang menjadi juaranya. Padahal kalau diukur secara omset, pendapatannya berbeda jauh dengan para pengusaha lainnya.

Dari Juara I Wirausaha itu, Elang membawa hadiah sebesar Rp 20 juta, ditambah tawaran kuliah S2 di Universitas Indonesia. Melalui lomba itu, terbukalah jalan cerah bagi Elang untuk menapaki dunia wirausaha yang lebih luas. Doel

SIDE BAR II:

Ingin Membawahi Perusahaan yang Mempekerjakan 100 Ribu Orang

Perjalanan Elang dalam merintis bisnis properti, tidak selamanya berjalan mulus. Pada awal-awal merintis bisnis ini, ia banyak sekali mengalami hambatan, terutama ketika akan meminjam modal dari Bank. Sebagai mahasiswa biasa, tentunya perbankan merasa enggan untuk memberikan modal. Padahal, prospek bisnis properti sangat jelas karena setiap orang pasti membutuhkan rumah. “Beginilah jadi nasib orang muda, susah orang percaya. Apalagi perbankan. Orang bank bilang lebih baik memberikan ke tukang gorengan daripada ke mahasiswa,” ungkapnya.

Meski sering ditolak bank pada awal-awal usahanya, Elang tidak pernah patah semangat untuk berbisnis. Baginya, kalau bank tidak mau memberi pinjaman, masih banyak orang yang percaya dengan anak muda yang mau memberi pinjaman. Terbukti dengan hasil jerih payahnya selama ini sehingga bisa berjalan.

Ada banyak impian yang ingin diraih Elang, di antaranya membentuk organisasi Maestro Muda Indonesia dan membawahi perusahaan yang mempekerjakan karyawan 100 ribu orang. Motivasi terbesar Elang dalam meraih impian tersebut adalah ingin menjadi tauladan bagi generasi muda, membantu masyarakat sekitar, dan meraih kemuliaan dunia serta akhirat. Doel

Murtadho, Pengelola Yayasan Pengembangan Karya Usaha Mandiri

Murtadho, Pengelola Yayasan Pengembangan Karya Usaha Mandiri

Lebih Mengerti Tentang Arti Kehidupan Setelah Memberikan Pinjaman Kepada Warga Miskin

Bila Bangladesh memiliki Muhammad Yunus sebagai seorang bankir yang meminjamkan kredit lunak pada banyak warga miskin, maka Indonesia juga memiliki ‘Yunus’ di dalam sosok Murtadho. Seperti halnya Grameen Bank yang kerap menyalurkan pinjaman lunak kepada ribuan nasabah kaum miskinnya, begitu pula dengan apa yang dilakukan Murtadho dengan Karya Usaha Mandiri yang didirikannya sejak tahun 1989. Lalu, bagaimana perjalanan Murtadho dalam membantu memberikan pinjaman kepada rakyat miskin? Dan bagaimana pula sosok Murtadho sebenarnya?

Siang itu sinar terik matahari seakan menemani perjalanan Realita ke pelosok desa di Kabupaten Bogor, tepatnya Desa Kalong I Leuwisadeng. Untuk bisa sampai ke Desa Kalong I membutuhkan waktu kira-kira 4 jam jika ditempuh dengan menggunakan roda empat dari kota Jakarta. Di desa terpencil inilah kantor Karya Usaha Mandiri (KUM) berdiri, sebuah lembaga keuangan mikro yang ditujukan bagi kaum miskin. Dengan penuh keramahan, Murtadho, pengelola Karya Usaha Mandiri (KUM) menyambut kedatangan Realita. Di ruang kerjanya yang tidak tampak sebagai sebuah kantor lembaga keuangan, Murtadho pun mulai menceritakan awal mula berdirinya KUM.

Sebenarnya Murtadho bukanlah asli orang Bogor. Ia berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Sejak kecil kedua orang tuanya sudah menanamkan nilai-nilai kepedulian sosial terhadap sesama. Salah satu didikan kedua orang tuanya adalah dengan memberikan uang kepada para pengemis dan menolong orang yang sedang kesusahan. Setelah menamatkan pendidikan strata satunya di Universitas Islam Batik (UNIBA) Surakarta tahun 1991, ia bekerja di lembaga Asuransi Bumi Asih Daya Surakarta. Setahun kemudian ia hijrah ke kota Bogor untuk mengelola KUM. Sebelum Murtadho masuk dan mengelola KUM, ada beberapa figur lainnya yakni Dirjen Pertanaman Pangan, (Alm.) Hairil Asahan dan Dr. Mat Syukur, Direktur Pembiayaan di Departemen Pertanian. Namun karena kesibukan keduanya, akhirnya Murtadho ditunjuk untuk mengelola KUM.

Replika Grameen Bank. Menurut pria kelahiran Brebes, 17 September 1966 ini, berdirinya Karya Usaha Mandiri berawal dari adanya tawaran yang berasal dari Asia and Pacific Development Center (APDC)-sebuah lembaga keuangan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam pembangunan negara-negara di wilayah asia pasifik-pada tahun 1989 untuk menyelenggarakan pola peminjaman uang ala Grameen Bank. Grameen Bank sendiri adalah lembaga keuangan yang dirintis oleh Muhammad Yunus di Bangladesh yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin yang tidak tersentuh oleh bank-bank konvensional. Pada awalnya, 75 persen sahamnya dimiliki oleh negara dan 25 persen dimiliki masyarakat, tetapi setahun kemudian keadaan tersebut justru berbalik menjadi 75 persen untuk masyarakat dan sisanya dimiliki negara. Melihat keberhasilan menuntaskan kemiskinan di Bangladesh dengan menggunakan pola Grameen Bank, APDC lantas menawarkan kepada tiga lembaga di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia, yakni universitas, lembaga keuangan, dan departemen. Namun, dari tiga lembaga itu, yang mengajukan hanya dari Departemen Pertanian saja.

Sejak itu Departemen Pertanian, Melalui Pusat Penelitian Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, mulai merealisasikan program kredit mikro dengan pola Grameen Bank dan sebagai pelaksananya adalah KUM. Namun karena sifatnya proyek dan dananya sangat terbatas, proyek tersebut hanya bertahan hingga tahun 1992 saja. Pada perjalanan selanjutnya, KUM mendapat pinjaman Rp 50 juta dari Bank Indonesia (BI) di bawah bimbingan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Dengan dana Rp 50 juta tersebut, KUM mulai merangkul kaum papa di desa Curug Bitung kecamatan Nanggung, Bogor. Dipilihnya kecamatan Nanggung sendiri sebagai pilot project, karena di antara kecamatan Kabupaten Bogor, Kecamatan Nanggung merupakan kecamatan termiskin sehingga kecamatan ini menjadi pilihan utama.

Sempat Ditolak Masyarakat. Pada saat awal merintis KUM, bapak dari Khoiru Ummah Laily Ahmadani (kelas 2 SMA) dan Akbar Affaruk Khuzaimi Ahmadani (kelas 2 SD), mengaku banyak sekali kendala dan rintangan yang menghadang. Bahkan pada saat mensosialisasikannya, sebagian dari masyarakat antipati terhadap apa yang dilakukan Murtadho. Ia sempat dicurigai oleh masyarakat dan diduga membawa misi kelompok agama tertentu. Meski mendapat kecurigaan seperti itu, Murtadho tidak patah semangat. Ia justru merasa tertantang untuk bisa memberi informasi dan pemahaman yang benar kepada masyarakat. Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, setiap hari ia mendatangi kaum miskin dari satu kampung ke kampung lainnya, dan dari rumah ke rumah lainnya untuk berdialog dan mengajak masyarakat masuk ke KUM. Akhirnya, perjuangan selama tiga bulan dengan pendekatan yang intens dan tak kenal lelah, perlahan-lahan masyarakat menerima konsep kredit mikro yang ditawarkannya.

Menurut suami Dra. Anik Tri Sulandari ini, tujuan utama dari penyaluran kredit mikro melalui KUM adalah untuk penyaluran modal usaha atau menambah modal usaha. Sehingga pada saatnya nanti masyarakat golongan miskin diharapkan mampu berdiri sendiri dan mampu mengembangkan usahanya. Rumah tangga yang layak menjadi anggota KUM diseleksi menurut kriteria yang ditetapkan, di antaranya adalah pemilikan lahan, nilai aset, sumber-sumber pendapatan, prospek usaha, dan lain-lain. Sedangkan azas pinjaman KUM sendiri di antaranya adalah pertama, tidak memerlukan jaminan dan penjamin sehingga masyarakat tidak terbebani ketika meminjam. Kedua, setiap peminjam dikenakan biaya administrasi pinjaman. Ketiga, apabila peminjam meninggal dunia, ahli waris dibebaskan dari segala kewajiban membayar sisa angsuran.

Pola penyaluran kredit KUM ini dilakukan melalui pendekatan kelompok, meski penggunaannya sendiri untuk keperluan perorangan. Kelompok, yang dalam KUM disebut dengan kumpulan, terdiri dari 5 (lima) orang anggota yang memiliki karakteristik sosial ekonomi, pendidikan, umur yang hampir sama, dan lokasi tempat tinggal yang berdekatan. Sebelum anggota memperoleh pinjaman, calon peserta KUM wajib mengikuti proses uji kelayakan sebagai langkah awal untuk mengetahui keadaan keluarga, indeks asset, indeks pendapatan, dan usahanya. Setelah itu, barulah diadakan Compulsory Group Training (Latihan Wajib Kumpulan/LWK). Dalam LWK, anggota diberikan penjelasan tentang cara-cara mengajukan pinjaman, mengembalikan, menabung, dan sanksi-sanksi apabila anggota terlambat membayar angsuran. Selain itu, peserta juga dilatih untuk dapat menuliskan tanda tangan, menulis namanya sendiri, dan prosedur lainnya yang diperlukan.

LWK adalah wahana untuk melatih kedisiplinan calon peserta KUM. Adapun waktu diadakannya pelatihan LWK adalah selama 5 (lima) hari dengan lamanya pelatihan minimal 1 (satu) jam perhari, sedangkan pada hari terakhir pelatihan diadakan UPK (Ujian Pengesahan Kumpulan) untuk mengukur kemampuan dan pemahaman materi yang telah disampaikan. “Cara ini digunakan karena target kita bukanlah bagaimana mereka dapat pinjaman dengan cepat karena pinjaman adalah salah satu alat mediasi saja tapi yang terpenting adalah mengubah paradigma berpikir mereka, sehingga mereka bisa memanfaatkan pinjaman uangnya dengan maksimal,” tutur Murtadho. Selain itu, motivasi juga diberikan kepada para anggota agar mereka memiliki keinginan untuk mengubah kemiskinan yang mendera mereka.

Kemudian, setelah dinyatakan lulus dari LWK, anggota wajib membentuk Rembug Pusat/RP (weekly centre meeting) yang dikenal dengan istilah Minggon. RP adalah federasi beberapa kumpulan, yang terdiri dari minimal dua kumpulan (10 anggota) dan maksimal adalah enam kumpulan (30 anggota). RP ini diadakan sekali dalam seminggu di tempat yang telah disepakati oleh anggota. Semua aktivitas pengajuan, penerimaan, dan pengembalian pinjaman serta kegiatan menabung dilakukan dalam Rembug Pusat (RP). Setiap pengajuan pinjaman, anggota diwajibkan mengisi borang (formulir) pengajuan pinjaman yang disetujui oleh anggota kumpulan lainnya. ”Sistem pinjaman di KUM polanya adalah 2-2-1, kalau 5 orang berarti 2 orang yang menerima 3 orang yang menunggu tetapi yang menentukan dua orang ini adalah 5 orang anggota kumpulan tersebut,” jelas mantan guru Madrasah Aliyah Muallimien Muhammadiyah ini. “Ketentuan dari sang peminjam tentu saja adalah orang yang sangat membutuhkan dan tidak bisa ditunda lagi. Di sinilah pentingnya hidup berkelompok dan arti pengorbanan untuk mengalah satu dan yang lain,” lanjutnya. Setelah diberikan pinjaman, KUM juga akan mendampingi para nasabah dalam mengelola uang pinjaman itu. Setiap minggu dalam pertemuan Minggon, masing-masing anggota berdiskusi untuk mengevaluasi perkembangannya. “Kita tidak hanya memberikan umpan saja, tapi juga bertanggung jawab terhadap umpan yang kita kasih, kalau hanya sekadar memberi umpan saja, program pemerintah juga banyak,” paparnya.

Sedangkan besarnya pinjaman sendiri, diakui pria pengagum Muhammad Yunus ini, selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1989 saat baru berdiri, besarnya pinjaman pertama maksimal Rp 30 ribu per anggota, dan nilai ini meningkat menjadi Rp 100 ribu per anggota pada akhir tahun 1999. Selanjutnya menjadi Rp 200 ribu pada tahun 2000 dan mulai tahun 2005 menjadi Rp 300 ribu. Pinjaman tersebut dikembalikan secara mingguan selama 52 minggu (satu tahun). Setelah anggota melunasi pinjaman pertama dan memiliki catatan (record) pengembalian yang baik dan lancar, maka anggota berhak memperoleh pinjaman kedua, maksimum dua kali pinjaman pertama dan begitu seterusnya. Bentuk pelayanan yang dilakukan untuk sekarang ini adalah penyaluran bantuan kredit untuk tambahan modal usaha bagi masyarakat golongan miskin dengan cara–cara tertentu, mendorong dan memotivasi untuk menabung dan menggunakan pinjaman modal usaha untuk kegiatan-kegiatan produktif.

Hampir 100 persen semua anggota KUM adalah kaum wanita. Kredit uang yang diperoleh pada umumnya digunakan untuk menambah modal usaha sendiri atau modal usaha suami. Biasanya, tambahan modal bagi usaha suami antara lain untuk berdagang, berjualan sayuran, buah-buahan, anyaman, dan sebagainya. Sedangkan pinjaman untuk usaha sendiri digunakan untuk usaha membuka warung kebutuhan sehari-hari, jual makanan, minuman, atau beternak secara kecil-kecilan.

Dengan adanya modal kerja yang diperoleh dari pinjaman KUM, masyarakat desa memperoleh peluang untuk berusaha dan dapat bekerja mandiri. Bantuan kredit yang diberikan melalui YP-KUM telah mampu mengubah keadaan anggota atau nasabah. Perubahan tersebut tidak hanya pada pendapatan anggota, tetapi juga pada status anggota, yang semula sebagai buruh menjadi pedagang, atau peternak kini berubah menjadi pengusaha kecil dan menengah.

Mengentaskan Kemiskinan. Bagi anggota, hal ini telah membuka peluang bagi wanita untuk mendapatkan akses ke sumber modal. Hal ini menunjukkan bahwa di samping sebagai ibu rumah tangga dan istri, wanita juga berperan dalam membantu mencari nafkah bagi keluarga. Dengan membuka usaha di sekitar rumahnya, pekerjaan rumah tangga tetap dapat dikerjakan, dan sekaligus tambahan penghasilan dapat diperoleh. Dengan adanya perkembangan usaha dan dibukanya usaha baru, memungkinkan adanya perbaikan dalam pendapatan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selama ini menurut Murtadho, bank-bank konvensional hanya mau melirik pengusaha-pengusaha yang sudah mapan sedangkan para pedagang kecil dan kaum miskin tak dapat mengajukan kredit kepada bank-bank konvensional tersebut. Sehingga kaum miskin tidak punya kesempatan untuk mengembangkan dan mengubah hidupnya. Banyak faktor kenapa bank-bank konvensional tidak memberikan pinjaman. Salah satunya adalah perputaran modalnya yang kecil dan juga seringnya pinjaman itu macet dikembalikan. Padahal pengalaman Murtadho selama bersentuhan dengan kaum miskin, persentase tunggakan pengembalian sangat kecil, sekitar 1,9%. Hal ini menunjukkan bahwa apabila dirancang secara khusus (special delivery system), skim kredit untuk golongan miskin dapat dilaksanakan dan dapat membuktikan kelayakannya.

Sejak KUM berdiri di Kecamatan Nanggung, sudah banyak masyarakat yang merasakan kehadirannya, baik secara langsung maupun tidak. Kehadirannya telah mengubah perekonomian masyarakat di kecamatan tersebut. Hal ini terbukti dengan catatan angka berdasarkan kajian yang dilakukan Institut Bankir Indonesia (IBI) pada tahun 1998 terhadap 474 anggota KUM menunjukkan bahwa rata-rata nilai aset anggota sebelum menjadi peserta KUM adalah sebesar Rp 447.441 dan setelah menjadi anggota KUM nilai aset meningkat menjadi Rp 1.115.208.

Selain itu, dampak sosial KUM terhadap kehidupan anggota yang secara nyata adalah timbulnya rasa percaya diri pada anggota. Mereka (kaum wanita, red) telah diberikan akses pada modal dan dapat memanfaatkannya dengan baik dan dapat mengembalikannya secara teratur, dan bukan lagi menjadi warga masyarakat "kelas dua". Masyarakat golongan miskin di pedesaan, utamanya kelompok wanita, dapat dipercaya untuk memanfaatkan modal usaha dalam bentuk kredit guna meningkatkan pendapatan mereka dan dapat mengangsur tepat waktu, bahkan dapat menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menabung.

Hingga saat ini sejak dibukanya program Karya Usaha Mandiri sejak Oktober 1989, pengembangan wilayah operasional masih di sekitar Kabupaten Bogor, dengan 3 cabang yaitu Cabang Nanggung, Cabang Ciampea dan Cabang Parung Panjang. Sedangkan penyebaran anggota dan kelompok sasaran yang menjadi binaan Karya Usaha Mandiri sebanyak 6.348 orang, 1.506 kumpulan, dan 419 Rembug Pusat yang pengelolaannya di 3 cabang dengan jumlah dana yang pernah disalurkan sebesar Rp 14,7 miliar. Sebenarnya Murtadho ingin membuka cabang-cabang yang lain, tapi karena keterbatasan modal, ia hanya bisa memaksimalkan cabang yang ada. Meski KUM terbukti telah memberdayakan masyarakat di daerah Bogor, kehadirannya tidak pernah menjadi perhatian pemerintah.

Seiring perjalanan waktu yang dilalui KUM dan semakin bertambahnya jumlah anggota yang semakin cepat pada tahun 2001 dan 2002, Murtadho menyadari bahwa perlunya aspek legalitas agar lebih leluasa dan memaksimalkan peran. Akhinya pada tanggal 18 April 2002 Institut Bankir Indonesia (IBI) melembagakan proyek KUM menjadi Yayasan Pengembangan Karya Usaha Mandiri (YP-KUM) dengan bidang usaha Pelayanan, Konsultasi, dan Pengembangan Pembiayaan Mikro.

Tak terasa, sudah 16 tahun dilalui Murtadho dalam bergulat dengan kaum papa. Meski terkadang mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, ia tetap mendampingi tanpa kenal lelah. Yang membuat ia bertahan selama ini adalah karena banyaknya mendapatkan kebahagiaan dan kepuasaan batin. Terlebih lagi, jika pihak yang dibantunya telah mengalami kesuksesan dan kemajuan. Selain itu, ia juga banyak mengerti tentang arti kehidupan. “Saya lebih mengerti tentang arti kehidupan setelah banyak menyalurkan pinjaman,” ungkap Murtadho sembari menutup pembicaraan. Doel

Side Bar 1...

Cici Misnarsih (45), Nasabah Karya Usaha Mandiri

Bisa Menyekolahkan Lima Anaknya Hingga SMA

Perkenalan Cici dengan KUM berawal dari salah satu petugas KUM yang mendatangi rumahnya untuk mengikuti latihan wajib kumpulan yang diadakan KUM di daerahnya pada pertengahan tahun 1992. “Waktu itu saya sedang membutuhkan modal untuk berdagang, jadi ketika ada orang KUM yang akan memberikan pinjaman, saya ikut saja waktu diajak kumpul,” kenangnya. Setelah mengikuti berbagai tahapan, akhirnya Cici diberi pinjaman oleh KUM sebesar Rp 50 ribu. Uang tersebut lantas digunakan oleh suaminya untuk membeli pisang di petani sebanyak 10 tandan dan dijual kembali di pasar.

Seiring perjalanan waktu, berkat keuletan suaminya berdagang dan arahan-arahan dari KUM akhirnya usaha sang suami tersebut mengalami kemajuan, yang tadinya hanya menjadi pemborong pisang kecil-kecilan sekarang sudah menjadi pemborong besar. “Karena saya tidak pernah telat membayar, jadi kalau setiap mau pinjam untuk menambah modal, saya dikasih dari mulai pinjaman Rp 50 ribu, saya sekarang sudah bisa pinjam Rp 2 juta,” ujar ibu lima anak ini.

Cici mengaku banyak mendapatkan keuntungan dengan menjadi nasabah KUM selama 16 tahun. Selain bisa berdagang, ia juga kini bisa menyisihkan sebagian hasilnya untuk ditabung. Tak hanya itu saja, kelima anaknya juga bisa mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) padahal tadinya hanya sampai SMP. ”Yang membuat saya betah menjadi nasabah KUM karena kalau tidak ada uang untuk membayar, tidak ada sita-menyita barang. Seperti waktu suami saya sakit, orang KUM tidak pernah menagih dan bahkan setiap tahun saya juga selalu dapat hadiah dari KUM,” ungkapnya sembari tersenyum. Doel

Side Bar 2...

Ditantang Muhammad Yunus Saat Berkunjung ke Indonesia

Sebelum Muhammad Yunus diundang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan presentasi tentang pengentasan kemiskinan pada Tahun 2007 karena keberhasilannya mengentaskan kemiskinan dengan konsep Grameen Bank-nya, Muhammad Yunus sudah dua kali mendatangi KUM di Desa Kalong I, yaitu pada tahun 1990 dan 1991. Kedatangan Mohammad Yunus sendiri ke Desa Kalong adalah untuk melihat perkembangan KUM, sebab KUM yang ada di desa kalong I merupakan replika pertama dari Grameen Bank di Indonesia. Bahkan menurut Murtadho, Muhammad Yunus pernah menantang KUM untuk lebih berhasil dalam mengentaskan kemiskinan dari Grameen Bank, sebab kemiskinan yang terjadi di negara Bangladesh menurut Muhammad Yunus lebih parah ketimbang yang terjadi di Indonesia. ”Jadi kalau presiden SBY meminta nasihat ke Mohammad Yunus, dia tidak mengerti kalau di negara sendiri sudah ada yang menerapkan Grameen Bank dari dulu,” ujar Murtadho.

Pada saat Muhammad Yunus berkunjung ke Desa Kalong I, ia belum menerima penghargaan nobel perdamaian sehingga kedatangannya tidak diliput media. Berbeda pada saat setelah ia menerima nobel perdamaian, hampir semua media memberitakan perjalanannya. Dengan kedatangannya ke Indonesia, Murtadho juga banyak belajar dari sosok penerima nobel perdamaian tahun 2006 tersebut. Kedatangannya tersebut juga telah memberikan motivasi bagi Murtadho untuk berbuat hal serupa di Indonesia. Ia berharap dapat meraih kesuksesan dalam mengentaskan kemiskinan yang terjadi di tanah air. Doel